Mengapa Teknik Informatika?

Jadi kamu ini lulusan Teknik Informatika? ITB? Tapi nggak kerja?...

Sering sekali mendengar komentar begitu. Duluuu... Di awal-awal saya menikah dulu... Sekarang? Masih ada saja komentar yang senada... Tapi itu cerita lain lagi... 😉

Sekarang, saya mau cerita tentang mengapa saya kuliah di Teknik Informatika ITB. Karena ini adalah tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret...



Jadi alasannya adalaaah ... karena lolos UMPTN! 🤓

Hehehehe... Jelas lah ya! Kalau tidak lolos, mana mungkin kuliah di sana. Secara setahu saya, tidak ada jalur PMDK (atau apapun istilahnya sekarang) untuk masuk ITB. Minimal waktu itu. Dan saya bukanlah atlit berbakat. Bahkan kalau lari keliling lapangan 6 kali dalam kuliah Olah Raga saat TPB itu, saya selalu paling belakang!... 😅

Dan ya, UMPTN. Kelihatan kan, kira-kira angkatan berapa!?... 😝

Baiklah, kita serius sekarang... Tema sebenarnya adalah mengapa memilih kuliah di jurusan masing-masing. Yang untuk saya, dalam hal ini adalah jurusan Teknik Informatika. Penekanannya pada memilih... 

Btw ssst... Saya yang mengusulkan tema ini!... 😁✌


Masukan dari Ayahanda

Almarhum ayah saya adalah seorang yang cerdas lagi suka belajar. Hobi membacanya ditularkan ke anak-anaknya. Setiap habis gajian, bapak membawa kami ke kota Solo untuk membeli buku. Bapak juga melanggankan kami dengan majalah Bobo yang harus mampir dulu ke rumah salah satu anak buahnya, untuk kemudian baru sampai ke tangan kami beberapa hari sesudah tanggal terbitnya...

Saat sekolah, beliau selalu ranking satu. Beliau sebenarnya ingin menjadi dokter. Namun karena keterbatasan ekonomi, beliau masuk APDN (sekarang IPDN) yang semua biayanya ditanggung akademi...

Namun Bapak tak memaksa saya ataupun adik saya meneruskan cita-citanya. Beliau membuka lebar jalan untuk anak-anaknya. Mendukung minat dan keinginan kami. Dan beliau lah yang pertama kali memperkenalkan saya dengan jurusan Teknik Informatika!...

Saya tak ingat detilnya. Namun beliau menyatakan bahwa itulah profesi masa depan. Informatika akan menjadi suatu keniscayaan. Meski misalnya tak bekerja di kantor pun, lulusan informatika masih akan tetap bisa bekerja dari rumah! Visioner sekali, kan!?...

Padahal saat itu kami belum pernah menyentuh internet. Dan sampai meninggalnya, saya belum sempat mengajak bapak berselancar di internet... 😶


Membebaskan Diri dari Bayang-bayang Sayap Orang Tua

Berbeda dengan bapak, ibu mendorong saya untuk menjadi dokter. Ibu saya konselor. Seperti psikolog tapi khusus dalam urusan kependidikan. Dosennya guru BP lah. Jadi pandangannya tentang potensi saya bisa dipercaya, bukan semata subjektivitas seorang ibu saja. Meski memang ada unsur untuk melanjutkan cita-cita bapak yang tidak kesampaian...

Selain saya memang tak berminat dan merasa tak mampu kuliah kedokteran, ada yang kurang pas dengan pendekatan ibu saat itu. Ibu menyarankan saya untuk mendaftar di UNS, tempat beliau mengajar. Nanti ada Pak Ini dan Bu Itu yang ibu kenal, katanya...

Mungkin maksudnya menenangkan saya. Bahwa di sana saya tak akan sendiri. Ada yang memperhatikan, membimbing... Tapi jiwa remaja saya menangkap lain. Kalau benar saya masuk fakultas kedokteran UNS nantinya, apakah orang-orang akan percaya saya masuk dengan jalur resmi atau saya dianggap hanya titipan saja?... Bahkan mungkin saya sendiri tak akan bisa yakin bagaimana saya lolos...

Mengapa saya sampai berpikir sejauh itu? Karena dari kecil, prestasi saya selalu dikaitkan dengan orang tua saya. Ranking 1 di SD? Pantas saja, kan putrinya Pak Camat!... Saya pun menolak mendaftar ke SMP di kecamatan saya, sebagai cadangan sekalipun!... Masuk SMP di kota, ternyata banyak di antara gurunya yang pernah menjadi mahasiswa ibu saya! Muncullah isyarat-isyarat senada dengan pantas nilainya bagus, putrinya bu dosen. Sampai saya sempat malas belajar dan keluar dari 10 besar kelas saat kelas 2, padahal sebelumnya saya masuk 10 besar sekolah!

Saat pembicaraan mulai mengarah ke perguruan tinggi, dalam keluarga pun mulai isyarat wah, nanti masuk UNS, kampusnya ibu... 

Bagaimanapun, UNS adalah perguruan tinggi negeri. Dan sampai pada generasi saya, belum ada sepupu yang berhasil lolos masuk PTN. Sesudah saya sih banyak... Isyarat itu mungkin hanyalah dukungan keyakinan keluarga bahwa saya pasti berhasil. Tapi malah menghasilkan efek berkebalikan ke saya; kepercayaan diri saya dipertanyakan!...

Karenanya, saya memilih kuliah di tempat yang saya rasa tidak ada bayang-bayang orang tua di sana. Saya memilih Bandung. Sepertinya kota yang nyaman dan adem. ITB. Perguruan tinggi teknik terbaik di Indonesia. Dan IF... 😉


Prestise 

Setiap tahun, alumni SMA saya biasa mengadakan penyuluhan persiapan memasuki perguruan tinggi untuk adik-adik kelas 3. Pada saat saya menjadi peserta, ada oknum kakak kelas yang men-dissuade saya; nggak usah ngejar IF, masuk ITB-nya aja susah, saingannya banyak, kampusku juga oke lho... Beliau kuliah di kampus tetangga...

Lalu ada teman seangkatan yang bilang; masuk ITB-nya mungkin bisa, tapi IF, EL, dan TI itu susaaah. Ke perguruan tinggi lain saja kalau memang mau belajar perkomputeran... Dan memang saat itu ketiga jurusan tersebut dikenal dengan passing grade tertinggi... 

Saya yang ranking 17 di kelas pun tak mau terima. Eh? 17?... Yak! Baru tau kalau ada anak ranking 17 di SMA-nya bisa masuk ITB? Saya sempat ranking 49 dari 52 siswa lho, pas kelas 2!... 😎 Bangga, pula!... 😂

Ada teman lain yang bilang, bagus semangat tinggi. Tapi ga usah lah, pakai bilang-bilang ke semua orang kalau mau masuk IF ITB. Kan susah tuh, masuk ke sana. Kalau nggak lolos, gimana?... Saya jawab dengan pedenya, tidak apa-apa pengumuman. Biar lebih banyak yang mendo'akan... Padahal dalam hati saya tersentil juga. Sudah terlalu umbar kah, saya?... 🤔

Semua itu malah jadi makin memantapkan dan memotivasi saya. Saya belajar jauh lebih keras (dalam penilaian saya pribadi) ketimbang teman-teman lainnya ... dalam mempersiapkan UMPTN. Tak peduli nilai EBTANAS (ya ya ya, saya angkatan tua! 😝), apalagi nilai rapor! Tujuan saya satu : masuk IF ITB!...

Buku kumpulan soal UMPTN yang beribu-ribu halaman itu saya santap sebagai latihan. Terutama bagian matematikanya. Saya selesaikan semua! Karena kabarnya, nilai matematika berbobot lebih untuk masuk ITB. Entah benar atau tidak, yang jelas saya lolos... 😎

Ya, prestise di sini bukan hanya dalam artian prestise jurusannya. Namun juga soal harga diri saya sendiri; malu kalau sampai gagal masuk IF ITB sesudah pengumuman ke mana-mana begitu!... 🤓



Memang Cuma Bisa Itu!

Pikir-pikir, sebenarnya memang Teknik Informatika lah tempat saya... Saya bukan mahasiswa berprestasi. Lulus pun dengan IPK yang pas-pasan saja. Sampai saat ini belum bisa juga membuat animasi seperti Toy Story, yang film pertamanya membuat saya makin penasaran untuk memilih jurusan informatika. Tapi saya benar-benar tak bisa membayangkan kuliah di tempat lain...

Menjadi dokter, saya bisa saja berusaha meningkatkan kemampuan menghafal, lebih memberanikan diri berhadapan dengan luka, lebih tega menghadapi wajah kesakitan. Tapi harus kerja keras untuk itu. Dan minat saya bukan di sana... 

Minat saya selain informatika adalah Arsitektur, karena saya suka sekali menggambar teknik. Menggambar yang lain juga suka. Namun hanya meniru, tak mahir berkreasi sendiri... Karenanya waktu mengisi formulir pendaftaran UMPTN, saya memilih Planologi sebagai pilihan ke dua; ada gambar teknik, tapi tak ada nirmana (cmiiw)... 😄

Kemampuan otak saya yang cukup lancar ada di matematika dan logika. Dan di situ saya menikmati setiap tantangannya. Tapi kalau sudah masuk kalkulus dan trigonometri, saya pusing juga sih... 🤓


Yuk, kuliah Informatika!

Meski akhirnya sekarang saya tak berprofesi di bidang informatika, tapi pilihan jurusan kuliah ini adalah yang terbaik untuk saya. Di sana saya belajar lebih jauh tentang penalaran logika, bagaimana menyelesaikan permasalahan dengan baik, yang sadar atau tidak, sebenarnya diaplikasikan juga dalam kehidupan sehari-hari...

Di sana juga saya bertemu dengan suami saya. Eh?... Hehehehe... Itu bonus, ya!... 😜

Di masa pandemi ini, terasa sekali bagaimana dunia Teknologi Informasi tak ada matinya. Pada pekerja IT tetap bisa bekerja tanpa terhambat efek lockdown. Mereka yang pegawai kantoran bisa melakukan wfh, mereka yang freelancer tetap seperti biasa...

Kalau dipikir-pikir, saat pandemi ini, kita perlu banyak berterima kasih pada para pekerja IT. Berkat mereka, kita masih tetap bisa berkomunikasi, bisa mengakses informasi dan juga belanja online (penting!). Bahkan dengan memanfaatkan teknologi informasi, kita bisa belajar, mengikuti kajian, ibadah keagamaan, seminar, bahkan kuliah dari berbagai perguruan tinggi terkenal dunia yang letaknya beribu kilometer dari tempat kita berada, mengisi waktu saat harus di rumah saja dengan bermanfaat... 😇


Jadi, tunggu apa lagi?... 😉

Pendaftaran tahun depan?... 🤔

Ah, oke, baiklah... 😄

Semangat yaaa... 🤗


Comments

  1. Hihihi... Promosi banget sama informatika ya..
    Cocok jadi PR nya informatika deh..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada lowongan kerja di sana?... Hihihihi... Bingung aja nutup tulisannya gimana. Akhirnya begitu deh... 😅

      Delete
  2. ini kenapa jadinya informatika ITB kayak tempat cari suami sih? hahahahaha #salahfokus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sssttt... Jangan gitu. Ntar dikiranya anak2 if itu geek nan kuper... 🤔😂

      Delete
  3. Kerja kerasnya luar biasa teehh.. kereen

    ReplyDelete
    Replies
    1. AlhamduliLlaah membuahkan asil; dapet suami! Eh? Hihihihi... 😁

      Delete
  4. Betul, visioner sekali Bapaknya teh. Benar sekarang IT bisa dikerjakan dari rumah.

    Banyak juga ya yang ketemu jodoh di kampus tuh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berkat bapak, saya jadi cari-cari tau tentang perkomputeran. Dari situ jadi makin tertarik. Padahal waktu itu, buat kami komputer cuma jadi sarana ngetik dan nge-game prince of persia... 😁

      Delete
  5. Saya juga pernah ranking 23 kok teh *sama-sama bangga* hihihi...
    Anak-anak saya mah masih kecil, doain aja ya teh nanti ada yang nyantol di if itb :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin... Semoga anak-anak kita selalu senang belajar dan berbahagia di bidang yang mereka optimal di dalamnya... 🤗

      Delete
  6. Hwaa aku terharuuu ... ternyata aku tak sendiri sbg anak ITB yg hobinya nangkring di ranking puluhan waktu SMP-SMA 🤣

    ReplyDelete
  7. dapet jodoh bonus yg paling berharganya yaa teh, hihihi! terharu bgt teh, beda diantara yg sering memanfaatkan jalur KKN untuk memuluskan hidupnya, teteh malah berpikir out of the box dan mengambil tantangan, seru! makasi insight nyaa ya teh!

    ReplyDelete
  8. waaah aku pernah teh ranking 29 dari 35 siswa pas SMA, ternyata ku tak sendiri hhihihi

    ReplyDelete
  9. Wah sedih juga ya dulu teh, selalu dibayang-bayangi stigma orang dalam. Keren dengan kerja keras masuk IF ITB. Betul teh, kuliah tidak selalu tentang bekerja dan ilmunya tetap akan berguna di kehidupan kita.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah