Marah Itu Tak Ada Gunanya

Kemarin saya tak sehat lagi. Sepertinya saya tak boleh keluar rumah. Keluar rumah Rabu, Kamis pilek berat, Jum'at penyembuhan dengan meriang. Kali ini begitu juga. Tadinya saya berencana mejemput Butet jalan kaki untuk kemudian mencari kanvas di centre ville. Dia baru saja mendapatkan hadiah sandaran untuk melukis di kanvas. Kecil, ukuran A3. Tapi memang itu yang sudah lama diinginkan Butet untuk melukis di atas meja sambil duduk saja... 

Karena saya masih belum sehat benar, rencana batal! Kalau besok sudah fit, mungkin akan saya coba keluar. Kalaupun tidak, kami sudah berencana ke centre ville Kamis depan. Kebetulan Butet banyak jam kosong, kemungkinan tengah hari sudah selesai. Dan hari itu, pas keluarnya buku Neo yang ke dua, karya Michel Bussi, yang sudah ditunggu-tunggunya...

Meski sakit, saya tetap mengantar Butet sekolah. Badan tidak nyaman jadi makin bete saat menemukan ternyata tetangga mobil saya memarkir motor di antara mobil kami. Sulit buat saya untuk masuk ke mobil dengan posisi seperti itu...

Saat pulangnya, kebetulan sekali pemuda pemilik motor akan pergi. Dia datang sambil berbicara di telepon. Saat bertemu saya, dia minta maaf ... sambil tetap berbicara di telepon! Rasanya ingin marah-marah. Tapi saya tahan. Saya hanya menyarankan lain kali parkirlah di depan atau di belakang mobil ibunya. Dan saya pergi...

Saya rasa dia anak SMA. Dan saya pernah memiliki pemuda seumurnya. Dari tingkahnya yang tidak melepaskan teleponnya, saya mengenali ada dua kemungkinan. Yang pertama adalah dia tidak peduli sama sekali. Saya mau bicara sepanjang dan selebar apapun, tak akan ada gunanya. Jadi buat apa saya buang-buang tenaga, kan!?

Yang ke dua adalah bahwa dia amat merasa bersalah. Dia tak tahu harus bicara apa. Karenanya, dia menelepon entah siapa. Saya duga sih ibunya. Saya sendiri merasa bahwa dia tahu keberadaan saya di tempat parkir saat dia keluar dari lift. Saya dengar saat lift tiba dan lorong lift menyala. Tapi si pemuda baru keluar ke parkiran beberapa menit kemudian. Memang saya tak langsung keluar mobil karena menyiapkan telepon hendak memfoto posisi parkir kedua mobil dan motor...

Memang beberapa saat yang lalu saya dapati mobil saya banyak goresan kecil. Goresan tipis-tipis saja. Tidak parah. Mustinya bisa dihapus dengan efface rayure. Dan saya sudah menduga bahwa kemungkinan terjadinya di parkiran. Karena saya hampir tak pernah ke luar rumah bermobil selain untuk mengantar sekolah yang tanpa parkir. Namun saya tak menduga bahwa ada kemungkinan disebabkan oleh posisi parkir motor yang mepet begitu...

Tapi itu semua hanya dugaan. Yang jelas, saya memang menghindar buat marah-marah. Karena kalau saya marah, bakal merusak mood saya seharian. Lebih baik saya tulis di sini saja, lalu tiduran memulihkan stamina!... 😉


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah