Ayah - Andrea Hirata

Ternyata saya tak perlu menunggu relatif lama untuk mendapatkan kembali buku Ayah-nya Andrea Hirata. Dan ternyata sebelumnya saya baru membaca 10 halaman dari 396. Hanya 2 bab saja dari entah berapa bab yang dirangkum dalam 3 halaman daftar isi!

Foto: Bentang Pustaka

Menjadi Ayah

Menceritakan tentang Sabari yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada Marlena pada saat ujian seleksi masuk SMA. Beruntung, mereka bisa masuk SMA yang sama. Namun cinta Sabari bertepuk sebelah tangan...

Marlena yang cantik dan populer tidak tertarik pada Sabari yang suka berpuisi. Memang minatnya pada puisi ini dipupuk oleh ayahnya, seorang guru bahasa Indonesia yang suka berpuisi. Sabari pantang menyerah. Tetap setia hingga meski mereka berpisah saat lulus SMA...

Nasib ternyata mempertemukan mereka kembali sehingga akhirnya menikah. Sayangnya Marlena tak suka diikat. Tak tahan berada di satu tempat saja. Dia yang suka bertualang akhirnya meminta cerai...

Sabari pun memutuskan berhenti bekerja untuk bisa berkonsentrasi mengurus Zorro, panggilan sayang untuk anak laki-laki yang harus diasuhnya sendiri. Zorro yang saat kelahirannya membuat Sabari menemukan seseorang yang bersembunyi dalam dirinya, yaitu ayah. Sampai kemudian Marlena mengambilnya dengan paksa...

Tanpa Zorro, Sabari kehilangan arah. Tanpa anaknya, Sabari tak memiliki tujuan hidup. Selain sebagai ayah, Sabari jadi tak tahu siapa dirinya sendiri...

Absurd

Sebelum Ayah, saya sudah membaca serial Laskar Pelangi. Sudah lama juga. Tapi dua bukunya ada di sini. Laskar Pelangi dan Edensor sempat saya bawa ke Prancis. Yang dua lagi entah di Bandung, entah di Solo...

Saya mengingat Laskar Pelangi sebagai serial yang romantis. Lurus-lurus kalem-kalem saja. Semua eksplisit realis. Karenanya agak heran, terkejut, saat mulai membaca Ayah. Terkejut dalam artian positif nih ya...

Humor yang di pilih dalam buku Ayah ini cukup absurd. Poussé jusqu'au bout, kalau kata orang Prancis. Pushed to the end, nggak setengah-setengah kali ya? Dark humor yang bikin senyum miris meringis akan nasib Sabari. Tapi tenang, happy ending kok!...

Agak bingung di awal cerita dengan banyaknya karakternya. Dimulai dengan Sabari yang ditinggal sendiri. Bahkan kucingnya pun ada yang pergi. Lalu melompat ke cerita Amiru. Lalu Markoni. Tak ada penjelasan hubungan antara mereka...

Siapa Markoni, segera jelas beberapa bab kemudian. Namun hubungan antara Amiru dan Sabari baru terang di akhir cerita. Seperti JonPigareli dan Manikam yang muncul tiba-tiba. Baru jelas siapa mereka, agak jauh sesudahnya...

Asal sabar, seperti tujuan orang tua menamai Sabari, buku ini sungguh menarik untuk dinikmati. Sabar. Karena tak hanya lompat-lompat sudut pandang tanpa kejelasan hubungannya, pewaktuannya pun tidak linear...

Namun saya terbawa mengikuti romantisme perjalanan persahabatan Sabari, Ukun, dan Tamat, romantisme perjalanan cinta Sabari kepada Marlena, dan tentu saja romantisme kasih sayang Sabari sebagai ayah Zorro. Dan tak bisa diabaikan juga romantisme karakter-karakter lain di dalam cerita...

Romantis

Selain persahabatan dalam bentuk fisik, buku ini juga menyinggung tentang sahabat pena. Bagaimana budaya menulis surat sedikit demi sedikit kehilangan kepopulerannya. Tannpa menyinggung soal internet ataupun telepon genggam di dalam buku yang settingnya akhir ceritanya sudah di tahun 2000-an ini...

Andrea Hirata juga menyinggung tentang kaya ragamnya bahasa di Indonesia dan pentingnya berbahasa Indonesia. Buku ini menceritakan betapa hanya di Sumatera saja, bahkan antar tetangga kota saja, sudah mungkin tidak saling mengerti karena menggunakan bahasa atau sekedar dialek yang berbeda... 

Ya! Buku ini sangat romantis. Namun bukan romantisme model kisah cinta menye-menye. Gaya tulis Andrea Hirata juga tetap memikat. Bahkan menurut saya lebih menarik ketimbang Laskar Pelangi. Tapi itu selera ya...

Tidak menyangka bahwa saya bisa menyelesaikan buku ini dalam 3 hari saja. Meskipun begitu selesai, masa pinjam langsung habis dan saya tak bisa mengambil kutipan-kutipan yang saya tandai di dalamnya!


Comments

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi