Bakda Kupat Tanpa Ketupat

Hari ini, 9 Mei 2022 bertepatan dengan 8 Syawal 1443 H. Hari inilah dirayakannya Bakda Kupat alias Lebaran Ketupat...

Menurut tradisi Jawa, ketupat baru dihidangkan seminggu setelah Lebaran. Setelah tuntas melaksanakan puasa sunah Syawal yang 6 hari. Puasa yang baru bisa dimulai tanggal 2 Syawal. Karena 1 Syawal adalah Hari Idulfitri. Hari Raya. Haram untuk berpuasa!... 

Tahun ini saya juga tidak (belum?) melaksanakan puasa sunah Syawal. Biasanya, meski tak puasa, saya tetap menyiapkan ketupat dan opor, yang biasa saya lengkapi dengan gudeg dan sambal goreng kentang...

Sambal goreng kentang berisi udang. Selain karena anak-anak kurang suka hati, juga untuk menambah variasi hidangan. Opor ayam yang kadang ditambah telur juga, gudeg dengan daging sapi, sambal goreng dengan udang. Lengkap, kan!?...

Sebenarnya saya bahkan sudah menyisihkan kerupuk rambak yang dikirim ibu saya akhir tahun lalu. Sengaja saya simpan untuk lebaran. Untuk membuat sambal goreng. Tapi hari ini saya batal menyiapkannya...

Saya hanya berdua saja dengan Butet. Suami sudah berangkat kerja, Ucok masih di perantauannya. Tak ada teman yang bisa diundang. Masing-masing sibuk bekerja. Sahabat dekat yang sama-sama ibu rumah tangga sudah pindah rumah. Yang lain jauh tempat tinggalnya. Terbatas waktu untuk bisa kumpul-kumpul santai bersama...

Membayangkan masak banyak dan berbagai jenis, takut tak bisa menghabiskan. Kalau masak sedikit, rasanya rugi waktu juga kan!? Tapi rasanya saya tak mampu juga memasak macam-macam...

Ada kelelahan yang sulit dideskripsikan sejak akhir Ramadan. Sulit didefinisikan pula penyebabnya. Tapi rasa enggan mengerjakan hal-hal di luar rutinitas itu ada. Hanya keinginan untuk menulis yang tersisa...

.

.

.

Tentu saja, tidak merayakan Bakda Kupat bukan berarti lalu saya tidak memasak!

Dari akhir pekan, Butet sudah berpesan ingin makan kari Jepang. Apalagi Sabtu saya membeli tablet bumbu instannya di toko Asia. Padahal sebenarnya buat persediaan saja. Karena saya masih memiliki stoknya di rumah...

Namun masak karinya batal. Butet sakit perut. Rasanya terlalu nekat untuk makan kari yang sengaja kami pilih pedas --dari tiga level kepedasan mild, medium, dan hot-- untuk perut yang sedang tidak nyaman, kan!?

Saya tawarkan sup, dengan bakso atau ayam? Dia memilih bakso. Baiklah. Gampang kalau itu. Tak perlu men-defrost ayam dari freezer. Kalau bakso kan bisa langsung masukkan ke air mendidih saja...

AlhamduliLlaah masih ada persediaan bakso beku yang saya buat sebelum Ramadan. Tinggal sedikit. Tak apa. Biar buat Butet semua saja. Saya tambahkan wortel dan bawang daun. Dengan kuah kaldu instan nabati Kub'Or. Saya masukkan juga sedikit makaroni yang dulu membuat anak-anak geli; makan nasi kok pake pasta? namun belakangan malah nagih. Panas-panas dimakan dengan nasi putih. Butet lahap meski tak banyak. Mungkin masih belum enak, perutnya...

Saya? Makan dengan lauk sisa ayam yang sengaja disimpan dalam kulkas untuk makan siang saat sendiri. Ditemani sambal ikan Roa botolan, hasil belanja di Toko Bu Yati...


Comments

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi