Bakat Berdagang

Kemarin Butet pulang tersenyum-senyum. Dia cerita kalau berhasil menarik teman-temannya untuk membeli selembar hasil gambarnya. Bahkan sedang ada semacam lelang, siapa yang mau membayar lebih tinggi!

Ceritanya, saat Soirée des 3e Jumat lalu, ada sekolah menyediakan stan foto. Tentu saja bukan untuk foto sendirian. Tapi berfoto bersama satu grup pertemanan...

Dari situ hanya diberikan satu cetakan foto saja. Kata petugasnya, akan dikirimkan versi digitalnya ke posel masing-masing anak yang ada di dalam foto. Namun sampai kemarin belum ada kabarnya juga...

Minggu malam, tak bisa tidur, Butet menunggu kantuk sambil menggambar. Dia menggambar dengan model foto dari stan yang ternyata disepakati diberikan padanya. Cetakan foto kurang bagus. Gambar kurang tajam, dan ada filter yang menggelapkan kulit, yang malah jadi tidak natural. Secara kulit orang di daerah kami cukup bagus. Tidak terlalu putih. Karena daerah selatan ini kan paling banyak bermatahari di seluruh Prancis!...

Butet menggambar seadanya. Tanpa mengukur kertas. Dengan pensil ala kadarnya, ditebalkan dengan bolpoin normal saja. Tapi ternyata saat difoto dan dikirim ke wag pertemanannya, semua berminat memilikinya!

Butet pun memberikan penawaran ke siapa saja yang bisa membayar lebih tinggi. Itupun sebagian dibayar dengan éclair au chocolat, yang itu dibeli dengan kartu kantin sekolah!

Ternyata bukan pertama kalinya Butet "menjual" gambarnya. Sebelumnya, beberapa gambarnya sudah sempat dihargai. Bukan dalam bentuk uang. Lagi-lagi dalam bentuk éclair au chocolat kantin sekolah saja! Kue kesukaan Butet!

IU (Lee Ji Eun)
Tidak untuk diperjuabelikan 😜

Saat cerita bahwa penawaran sudah sampai 7 euro ditambah satu éclair (yang harganya 2 euro-an di kantin), saya meyeletuk, sudah, kasih saja. Sama teman cukup dekat ini...

Tapi rupanya Butet sudah memikirkan soal harga ini. Butet mau saja melepas dengan harga 5 euro untuk sahabat terdekatnya. Teman dekat 10 euro. Teman saja 15 euro. Semua harus menambahkan éclair, tentu saja!

Hampir saya menyarankannya untuk membiarkan saja, memberi diskon ekstra. Tapi saya tahan. Saya langsung mengingat betapa memang saya tak bisa berdagang!...

Sudah berapa kali teman dan keluarga mendorong berbisnis. Entah itu menjual barang Indonesia di Prancis, atau sebaliknya menjual barang Prancis di Indonesia. Tapi saya tolak...

Banyak yang sampai mengajukan dalil-dalil keagamaan segala. RasuluLlaah juga berdagang. Menjadi pedagang, artinya mengikuti sunah Rasul... Tetap saya tak mau...Bukan berarti saya tak mengimani RasuluLlaah ya. NaudzubiLlaahi min dzalik...

Bukan hanya karena tidak semudah itu bertransaksi uang di Prancis yang memang urusannya bisa sangat panjang. Bukan juga urusan modal yang memang tak ada. Tapi lebih ke karakter saya yang tidak tegaan. Tak tega mengambil untung, tak tega tawar-menawar, tak tega apalagi untuk menagih...

Menagih uang kontrakan rumah saya di Solo saja saya lamban. Memikirkan wah ini Natal. Mungkin keluarga yang mengontrak sedang banyak pengeluaran. Ah, tahun ajaran baru. Pasti banyak keperluan anak sekolah. Atau bahkan hm, lagi Ramadan. Nanti saja sesudah Lebaran...

Padahal si pengontrak sudah berjanji melunasi. Menyanggupi untuk membayar karena krisis pada bisnisnya yang disebabkan pandemi sudah cukup mereda. Sudah berterima kasih karena diberi tenggang yang cukup panjang...

Yah, begitulah. Saya memang tak berbakat berniaga. Tapi siapa tahu Butet lebih lihai bernegosiasi kan!? Mungkin dia yang menurun bakat dagang almarhumah Yangati, eyang buyut, ibu dari almarhum ayah saya yang pedagang kasur. Bakat yang lompat dua generasi. Kenapa tidak?

Mau berdagang? Silakan saja. Tapi saya tidak ikut ya!...

Lagi pula, kalau semua berdagang, siapa yang bakal jadi pembeli? Mosok tuker-tukeran saling membeli saja?... 😄


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah