Cita-cita Anak

Sejak kemarin, ada banyak berseliweran di linimasa berita tentang diterimanya anak-anak ke universitas negeri di Indonesia. Via SBMPTN. Entah jalur apa lagi itu. Terlalu banyak. Saya yang tak mengikuti perkembangan jadi tersesat di dalam berbagai singkatan dan definisi, meski sudah berapa kali mendapat penjelasan dari sana-sini...

Tapi itu tak penting...

Yang jelas, turut berbahagia dengan kebahagiaan teman-teman saya. Ikut merasakan kelegaan seperti saat Ucok diterima di perguruan tinggi Prancis 3 tahun yang lalu dan kemudian 2 tahun yang lalu di Swedia...

Kebetulan sekali kemarin yang awal saya lihat adalah anak-anak yang masuk ke fakultas kedokteran. Baru hari ini jurusan-jurusan lain bermunculan. Jadi mengingatkan saja ke Butet yang berubah cita-cita, tidak mau lagi jadi dokter...

Dulu sekali, Butet ingin menjadi dokter hewan. Namun dia tak mau lagi saat menyadari bahwa dalam perkuliahan harus mengurus semua hewan. Tak hanya kucing, anjing, dan panda saja!

Dari sana, dia tertarik ke psikolog, setelah melihat temannya yang bermasalah. Namun kemudian ternyata ketertarikannya lebih ke psikiatri yang bekerja pada otak. Artinya, harus sekolah kedokteran. Oke, katanya...

Saya sempat ragu. Yakin, gitu, mau ke kedokteran sementara dia melihat tangannya teriris kertas saja bisa sampai muntah? Tapi saya diamkan saja. Saya tetap semangati dia... Hingga pada akhirnya, Butet menyadarinya sendiri bahwa sepertinya itu bukan jalannya...

Bukan... Bukan lama pendidikannya yang membuat dia takut. Tak masalah buatnya sekolah dokter, kemudian spesialis, dan baru profesi psikiatre, katanya. Tapi dia justru merasa tak mampu menjalani pendidikan dokter dalam hal materi pelajarannya...

Tak hanya takut darah, nyeri melihat luka, tapi rasanya juga tak sampai hati kalau harus mengurusi organ-organ dalam manusia. Empat (???) tahun berkutat di sana, rasanya berat juga... Tapi otak tak apa-apa. Karena menurutnya otak sangat menarik. Di situlah letak minatnya...

Tentu saja tidak mungkin sekolah langsung spesial otak. Apalagi otak itu menyangkut keseluruhan tubuh manusia. Organ tubuh lain harus tetap dipelajari. Karena tanda berjalan baiknya otak kan dari organ luar tuh. Saya coba mengemukakan logika... 

Tetap saya semangati anaknya. Tapi dia sendiri yang memutskan ganti haluan. Ke animasi saja. Lalu kemudian ke arsitektur sebagai pilihannya, menyadari bahwa seleksi ke sekolah animasi itu tidak mudah...

Bukan berarti seleksi sekolah arsitektur itu mudah ya! Tapi paling tidak lebih jelas kriterianya. Kalau semisal belum berhasil di percobaan pertama, bisa diraba di mana harus diperbaikinya untuk percobaan berikutnya...

Saya dan suami dukung pilihannya. Tanpa menutup kemungkinan cita-citanya berubah lagi. Balik ke dokter lagi? Kenapa tidak... Dia yang menjalaninya nanti. Bukan kami. Dia harus memilih sendiri sesuai minatnya. Minat yang utama. Karena dari situ, dia pasti mau berusaha, kan!?

Seperti abangnya dulu yang kami pikir berniat ke bidang eksakta. Ternyata di jurusan Game Design dia lebih memilih sub jurusan project management, ketimbang programming. Dan dia senang di sana. Rajin belajar, aktif, dan berprestasi. Sempat beberapa kali dikirim mewakili universitasnya...

Anak-anak hidup bahagia. Itu yang utama, kan!?...

Sambil saya dan suami bersiap tabungan untuk mendukung mereka, tentu saja. Dan jaga kesehatan agar bisa mendampingi mereka sejauh mungkin!...


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah