Parenting Ideal

Kemarin saat ngobrol bertiga di waktu makan malam, kami membicarakan tentang rencana liburan ke Indonesia musim panas ini. Perbincangan berlanjut tentang kabar keluarga besar, tentang keponakan-keponakan alias sepupu-sepupunya Ucok-Butet, dan bersambung sampai soal bagaimana eyang-eyang yang suka memanjakan cucu-cucunya…

Butet berkata, “Nanti mama kalau sudah jadi nenek, jangan lakukan hal yang sama ya!”

Jangan memanjakan cucu-cucu dengan materi. Kalau mau kasih sesuatu ke cucu, pastikan persetujuan anak-anak (sebagai orang tua si cucu) dulu. Dan jangan lupa tanyakan ke cucunya sendiri, apakah benar-benar menginginkan atau memerlukannya. Begitu pesannya!...

Euleuh…

Belum juga SMA, sudah kasih masukan bagaimana menjadi nenek saja!...

Tapi ini jadi membuat berpikir. Bahwa dengan dimanjakan oleh eyang-eyangnya, bukannya senang-senang saja, ternyata Butet bisa merasa jengah juga. Padahal sudah 4 tahun berlalu, sejak bertemu langsung dengan eyang-eyangnya itu...

Butet mengeluhkan bagaimana setelah hanya berkomentar “wah, lucu ya!?” atau “aku belum pernah melihatnya sebelumnya” pada sesuatu, tiba-tiba eyangnya membelikannya! Sudah bilang tak perlu, tetap saja tahu-tahu ada tas belanja menunggunya di mobil! Sudah menolak, lalu ada yang mengebel mengantar barang ke rumah!

Bukannya Butet menolak pemberian kakek-neneknya. Tapi mungkin eyang-eyang bisa lebih berkomunikasi, menanyakan minat, keinginan, dan kebutuhan, agar pemberian jadi lebih terasa manfaatnya dan tidak jadi barang yang mubazir saja…

Ini jadi menyambung mengingatkan saya pada suatu diskusi di telegrup MGN tentang menanyakan pendapat anak tentang metode parenting kita. Dan saya sendiri, memang pernah menanyakannya!...

Ceritanya saat itu, saya protes pada ibu yang hambur membeli barang untuk cucu-cucu yang menurut saya tak perlu. Tidak hanya pada anak-anak saya yang memang bertahun-tahun tak jumpa. Tapi juga pada keponnakan-keponakan yang praktis hampir tiap hari bertemu...

Sepertinya ibu sudah sekian waktu memendam perasaan. Jawabannya agak melebar dari konteks. Beliau mengkritik metode parenting saya yang katanya terlalu keras!

Saya tega membiarkan anak menangis. Meminta anak yang belum dua tahun untuk duduk dan makan sendiri. Tak mau menyuapi anak sambil membiarkannya main. Tak mau membelikan sesuatu yang harganya toh tak seberapa. Masih kecil sudah disuruh mengerjakan ini-itu sendiri, bukannya dilayani. Terlalu banyak melarang anak ini-itu...

Saya yang biasa suka berdebat, kali itu jadi terdiam. Meski sudah berkali-kali meyakinkan diri dengan segala macam teori parenting bahwa tak ada orang tua yang sempurna, setiap anak berbeda, yang penting sudah melakukan yang kita bisa, dan sebagainya dan seterusnya, tetap saja terkadang komentar negatif masuk ke hati juga. Apalagi saat kritik itu datang dari orang tua sendiri...

Beberapa waktu setelah itulah, saya menanyakan langsung ke anak-anak; apakah benar demikian menurut mereka? Apakah mereka merasa tertekan, tak nyaman, seperti dugaan neneknya?...

Saat itu anak-anak menyatakan bahwa mereka baik-baik saja. Mereka merasa bahwa meski tentu saja tidak selalu puas, metode kami adalah yang paling sesuai untuk mereka. Mereka membandingkannya dengan metode eyang-eyangnya (dengan melihat hasilnya pada papa-mama dan om-tantenya), metode om-tantenya (dengan melihat karakter sepupu-sepupunya), atau metode orang tua teman-teman mereka sendiri (dari perilaku teman-teman yang mereka lihat sehari-hari)…

Dari hasil bincang-bincang yang masih rutin kami lakukan sampai mereka besar begini, saya mendapati bahwa anak-anak bisa menganalisis dan sadar akan adanya perbedaan di setiap keluarga. Entah itu perbedaan latar belakang orang tuanya, ideologi yang dipegang, lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, … tujuan pengasuhan, targetan pendidikan, … yang itu memengaruhi metode parenting. Dan itu membuat mereka kurang-lebih mengerti mengapa kami memperlakukan mereka berbeda dengan cara orang lain memperlakukan anak-anaknya...

Lalu apakah metode kami yang terbaik? 

Apakah metode kami lebih baik daripada orang tua kami?

Ibu berbeda dengan saya. Sebagai wanita karir yang dikelilingi keluarga besar, pola asuhnya terhadap saya tentu tak bisa disamakan dengan metode saya yang ibu rumah tangga, jauh dari keluarga, di perantauan yang tak sama bahasa dan budayanya...

Yang jelas, dari hasil pendidikan orang tua kami, saya dan suami jadi begini. Selain pengaruh lingkungan, adalah berkat (atau akibat?) pola asuh orang tualah kami ada di sini, kan!? 

Saya merasakan sendiri bagaimana mengasuh dua anak dari dan oleh ayah-ibu yang sama saja, ternyata tidak bisa dilakukan dengan model yang sama. Ada banyak faktor yang tidak bisa dirumuskan hanya dengan perbedaan pengasuhan antara anak laki-laki atau perempuan. Jadi kalau orang tua kami berbeda metode, ya itu wajar saja. Apalagi orang lain!...

Mungkin karena itu, saya kesulitan menulis tentang parenting? Karena sudah 21 tahun menjadi orang tua pun, saya masih belum bisa merumuskan, bahkan metode parenting saya sendiri?

Sebenarnya, bagaimanakah model parenting ideal?

Entahlah…

Sementara, saya hanya bisa menyimpulkan kesuksesan pengasuhan saya di saat saya merasakan bahwa anak-anak bahagia. Di saat mereka sehat, aktif, dan senang dengan apa pun yang mereka kerjakan. Di saat mata mereka memancarkan cinta dan kepercayaan dan rencana-rencana untuk masa depan. Di mana mereka masih tetap terbuka dan bisa membicarakan apa saja yang mereka mau kepada saya...

Seperti bagaimana saya merasakan kasih sayang orang tua saya, semoga anak-anak juga selalu merasakan kasih sayang kami, untuk kemudian mengalirkannya kepada anak-anak mereka kelak…

---

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni 2022 dengan tema Mamah dan Parenting... 



Comments

  1. Betul banget Teh Alfie ... setiap keluarga punya latar belakang dan tujuan masa depan yang berbeda. Aku sepakat bahwa versi terbaik parenting bagi anak-anak adalah ketika mereka happy dan merasa bersyukur memiliki kita sebagai orangtuanya.

    salam semangat

    ReplyDelete
  2. Teteh, aku juga suka nanya ke Cici lho hal yang sama, ternyata betul ada manfaatnya, kita harus minta feedback juga dari anak kan. Makasih sharingnya Teh Alfi, jempol banget

    ReplyDelete
  3. Pastinya tiap orangtua ingin anaknya baik dan tiap orangtua jg punya krisis sendiri2, makanya tema ini sulit buat para Mamah ya. So no judgement karena masih menjalani juga

    ReplyDelete
  4. Mba Alfiiii, seru membaca obrolan dengan Butet. Betul juga ya Mba, kadang Eyang bisa terlalu generous pada para cucunya ehehe. Aduh Butet sudah mature ya untuk anak usia ABG. :)

    Seruju, Mba Alfi. Parameter kesuksesan parenting adalah ketika melihat anak kita sehat, aktif, bahahia, dan mau terbuka dengan orangtuanya. :)

    ReplyDelete
  5. Ah love sekali tulisannya ❤ terutama dua paragraf terakhir. Parameter parenting ideal tampaknya memang itu yaa, saat mata anak anak memancarkan kebahagiaan

    ReplyDelete
  6. Nggak ada parenting yang ideal kalau kataku. Mungkin kalau anak sudah remaja memang sudah bisa diminta feedbacknya, komunikasi is the key. Tapi pada dasarnya ketika mereka bayi sampai mereka mulai remaja, ya kita yang harus menyesuaikan dengan kondisi dan situasi kita. Tentunya kesepakatan dengan pak suami juga mau gimana. kakek nenek boleh komentar, yang eksekusi kan kita. Jadi yaaaa gitu deh...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah