Hujan - Tere Liye

Setelah mengantri sekian lama, akhirnya saya dapat giliran membaca buku hujan-nya Tere Liye di iPusnas! Jelas langsung saya klik begitu melihatnya tersedia. Yang mengantri juga sudah lebih dari 20 ribu jumlahnya!...

Lail, Esok, dan Hujan

Menceritakan tentang perjalanan Lail yang kehilangan seluruh keluarganya di sebuah bencana alam yang menimpa seluruh dunia pada tahun 2042. Masa di mana dunia sudah maju, dengan teknologi canggihnya..

Lail yang saat itu berusia 13 tahun, diselamatkan oleh Esok yang berusia 15 tahun. Mereka pun berlindung di tempat pengungsian setelah menyelamatkan ibu Esok. Satu-satunya anggota keluarga Esok yang tersisa...

Setelah kota kembali pulih, Esok diangkat anak oleh Wali kota setempat yang juga bersedia merawat ibu Esok yang sakit pasca bencana. Lail ditempatkan di panti sosial...

Meski berpisah tempat tinggal, mereka tetap menjalin kontak. Mereka tetap bertemu meski tak sesering sebelumnya. Hingga suatu hari Esok harus ke ibu kota untuk melanjutkan kuliah. Dari situ, komunikasi mereka seakan terputus. Mereka hanya bisa bertemu setahun sekali. Dan hampir tak ada kontak di luar itu...

Pertemuan, perpisahan, dan berbagai peristiwa yang berarti bagi Lail dan Esok, selalu terjadi di bawah rintik hujan...

Distopia

Ini adalah pertama kalinya saya membaca buku Tere Liye. Ya, Tere Liye yang penulis terkenal itu!...

Bukannya saya nggak kenal namanya. Justru karena terlalu populer, saya jadi enggan membacanya. Apalagi saat kemarin mulai merambah politik segala...

Penulis nggak boleh berpolitik? Buat saya sih silakan. Tapi di dalam tulisan saja. Dan bukan politik praktis...

Enfin bref...

Dulu saya mengantri buku ini karena direkomendasikan saat mencari-cari buku berbahasa Indonesia bergenre distopia. Bukan fans Tere Liye, saya santai-santai saja menunggu lama. Apalagi saat itu saya mencari genre ini untuk menarik Butet. Yang masih belum pede juga sampai sekarang untuk membaca buku berbahasa Indonesia. Tapi tentu, tetap saja langsung klik pinjam dan baca begitu dapat gilirannya!

Dan saya tak kecewa!...

Ide ceritanya bagus. Plot-nya yang melompat-lompat, sungguh saya suka. Endingnya tak tertebak. Meski tentu saja itu adalah alternatif yang paling masuk akal, saya tak bisa menebak bagaimana cara mencapainya...

Untuk Pembaca yang Sabar

Tentu saja, seperti biasa, sebagai pembaca yang tak pernah bisa dipuaskan --ya, saya akui!--, saya menemukan beberapa detil yang mengganggu di buku ini...

Dari awal, saya menemukan istilah "tablet setipis kertas HVS" yang diulang-ulang. Padahal menurut saya, penulis tak perlu melakukannya. Cukup sekali-dua, pembaca sudah paham kalau di tahun 2042 dalam bayangannya, ada teknologi seperti itu...

Kenapa HVS? Kenapa harus Hout Vrij Schrift? Kenapa bukan manila. Atau kertas kalkir? Itu pertanyaan iseng lain lagi...

Kemudian saat menyebutkan Lail sebagai anak-anak. Mungkin karena anak saya sendiri sebaya, jadi kurang-lebih saya punya pembandingnya di depan mata. Dan anak saya bukan tipe remaja yang lebih matang dari umurnya. Butet termasuk anak kecil yang pertumbuhan fisik dan emosionalnya santai-santai saja. Dan saya bahagia karenanya...

Dan karena itu saya tak rela saat Lail dan bahkan Esok digolongkan sebagai anak-anak. Bagaimana perasaan Lail dideskripsikan layaknya perasaan anak-anak. Karena anak-anak dan remaja itu berbeda! Apalagi perempuan yang lebih cepat dewasa secara emosionalnya...

Satu lagi yang mengganggu saya adalah tentang salju. Mungkin ini detil yang harus diulik lebih dalam sih. Dan yah, anggap saja bisa terjadi. Meski sulit sekali untuk saya terima. Karena kami yang tinggal di daerah subtropis, tak bisa menikmati hujan salju --kalau salju numpuk berhari-harinya mah males, sulit dinikmati lagi-- setiap tahunnya di musim dingin. Dengan suhu yang selalu di atas 0°C, salju dijamin meleleh tak lama sesudah menyentuh tanah. Jadi kalau 5-10°C yaaa... Gimana ya? Saya juga pengen tuh!... Hahahaha...

Dan karena detil-detil itu ada di bagian awal, saya jadi lekas mengeluh akan ketidaklogisan beberapa kondisi. Tidak sabar menunggu penjelasan yang sebenarnya kemudian disampaikan belakangan dengan cukup apiknya...

Lagi?

Penasaran juga, kenapa Tere Liye memilih tahun 2042. Pasalnya, beberapa kali kami menonton anime bertema 2045, saya jadi mengetahui ternyata ada teori cukup terkenal tentang tahun 2045...

Sempat berharap akan terjadi sesuatu yang penting 3 tahun kemudian. Tapi ternyata tidak. Tetap, buku Hujan ini akan saya rekomendasikan ke mereka yang mencari genre distopia dengan sentuhan cerita cinta. Atau kisah cinta dengan setting distopia?...

Setelah membaca buku Hujan ini, apakah saya jadi tertarik dengan buku Tere Liye yang lain? Tentu saja!...

Saya sempat minta rekomendasi ke kanan-kiri. Sayangnya, tentu tak semua buku Tere Liye ada di iPusnas. Dan saya tak setertarik itu untuk sampai membelinya dari Prancis sini, digital sekalipun. Entah kalau nanti, saat mudik ke Indonesia... 😉


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah