Menjadi Anak dan Orang Tua yang Baik

Rabu pagi, seperti biasa pengajian. Seperti biasa jadi co-host. Yang nggak biasa adalah hari ini dijadikan host di depan layar!

Sudah sempat menolak. Tapi tiba-tiba yang bertugas host malah tak di depan kamera saat acara mau dimulai. Jadilah saya host dadakan. Tanpa persiapan. Sampai lupa mengajak peserta bersama-sama mengawali acara dengan Al Fatihah!...

Lalu kemudian baru juga ustaz mulai ceramah, tiba-tiba komputer mati. Begitu saja! Padahal tersambung ke listrik alias mustinya bukan masalah kehabisan batre. Tak terasa panas pun. Entah kenapa. Dicoba nyalakan tak bisa. Terlihat menyala mesinnya langsung mati lagi...

Lekas saya nyalakan tablet. Konek ke zoom dari sana. Sambil tak lupa mengabarkan ke wag pengurus tentang masalah saya. Dan komputer tak mau menyala sampai akhir acara...

Meski begitu, saya tetap bisa menjalankan tugas sebagai host di balik layar maupun di depan layar. Dengan tergagap-gagap tentunya. Jadi kurang konsen mendengar kajian. Padahal tema Perilaku Durhaka Orang Tua dan Anak ini menarik sekali. Ada dua pesan yang sangat mengena pada saya, yaitu tentang musyawarah doa dan memutus rantai kutukan...

Musyawarah Doa

Ustaz menyampaikan tentang lebih terkabulnya doa saat ada "kerja sama" antara orang tua dan anak. Saat orang tua dan anak-anak sama-sama mengharap yang sama. Meminta hal yang sama pada Allah. Kekuatan doa jadi lebih besar karena adanya kesepakatan ini...

Ilustrasi ini mengingatkan saya pada kejadian yang saya alami sendiri. Yaitu saat kami ingin memiliki anak ke dua...

Saat itu saya sudah berhenti KB untuk beberapa bulan. Kami tidak secara khusus menyampaikan niat untuk memiliki anak ke dua. Tapi secara tidak langsung, ketidakmenolakan kami saat didoakan untuk segera memiliki anak ke dua tetunya ditangkap oleh keluarga besar...

Kalau ada yang bilang Ucok cepat punya adik lagi, kami jawab nanti saja kalau sudah saatnya. Nah, waktu kami sudah merasa siap punya anak lagi, jawaban kami berubah menjadi mohon doanya ya. Atau yang senada dengan itu...

Saya dan suami sepakat lebih menginginkan memilki anak laki-laki lagi. Alasannya praktis saja. Segala baju dan perlengkapan boleh dibilang tiggal menambah seperlunya saja. Plus yang paling penting adalah si adik bisa sekamar dengan abangnya! Apalagi jarak umur yang 6 tahun begitu. Tak mungkin bayi perempuan kami tempatkan sekamar dengan abangnya...

Namun keluarga besar berpikir lain. Mereka lebih mendoakan anak perempuan saja. Biar "lengkap"! Padahal apa maksudnya lengkap ya? Memangnya raja jaman kerajaan dulu. Anak laki-laki untuk meneruskan keturunan, anak perempuan untuk dinikahkan dengan pangeran negara lain?...

Berbulan-bulan sesudah berhenti KB, saya tak hamil juga. Kami mulai instrospeksi. Sepertinya ada yang salah... Dan kami sampai pada satu kesimpulan yang kami sampaikan juga ke keluarga besar dengan implisit...

Saat keluarga besar mendoakan segera punya anak lagi, kami arahkan untuk yang penting sehat. Tidak masalah, laki-laki atau perempuan. Yang penting sehat! Dan saya dan suami sendiri juga mengikhlaskan, kalaupun diberi anak perempuan, insya Allah akan ada rejekinya sendiri. Yang penting sehat itu tadi!...

AlhamduliLlaah, beberapa bulan kemudian saya hamil! Perempuan! Dan memang janji Allah itu sempurna. Suami saya mendapatkan pekerjaan baru dengan gaji yang lebih besar. Tapi itu cerita lain lagi...

Memutus Rantai Kutukan

Ilustrasi ke dua adalah saat ustaz menjawab salah satu pertanyaan di sesi tanya-jawab mengenai seorang ibu yang jadi terbiasa "mengutuk" anaknya sebagai anak durhaka karena pada masa kecilnya dia juga biasa "dikutuk" orang tuanya sebagai anak durhaka...

Ini mengingatkan saya pada kutukan ibu saya, yang saya ketahui merupakan buah dari kutukan eyang putri saya sebelumnya. Yaitu tentang anak perempuan yang galaknya melebihi ibunya...

Ya, saya memang galak. Ketus kalau tidak suka atas sesuatu. Saat kecil, sering kali ibu bilang yang senada dengan "Rasakan nanti kalau kamu punya anak perempuan. Pasti lebih galak dari kamu!" Beberapa kali saya mendengar komentar budhe atau bulik ke ibu saya jika saya ketus ke ibu di depan mereka "Nah kan, sekarang benar-benar ngerasain apa kata ibu dulu; sekarang kamu punya anak perempan yang lebih galak dari kamu waktu kecil!"

Saya yakin, maksud ibu atau eyang putri bukan untuk mengutuk, tapi hanya memperingatkan saja. Seperti juga ibu yang bertanya tadi di pengajian. Saat dia bilang "Kalau begitu kamu nanti jadi anak durhaka", maksudnya hanyalah mengingatkan. Siapa yang mau anaknya jadi anak durhaka, coba?...

Ustaz mengingatkan kembali kekuatan ucapan. Apalagi ucapan seorang ibu. Dan tadi ustaz memantapkan tekan saya untuk tidak menurunkan "kutukan" ibu dan ibu dari ibu saya ke anak perempuan saya...

Ya, Butet juga suka ketus. Tapi saya tak pernah membalasnya dengan mengutuknya seperti ibu dan ibu dari ibu saya. Tak urung, hati membatin. Tapi saya lanjutkan dengan istghfar. Semoga kelak jika Butet punya anak perempuan, hatinya lebih lembut lagi dari hati ibunya. Apalagi neneknya. Meski tetap, harus memiliki karakter yang kuat ya!... 

Menjadi Anak dan Orang Tua yang Baik

Kajian tadi menarik sekali. Sayang saat saya menulis ini, videonya belum diupload...

Heu, kerjaan siapa sih?...

Mohon maaf. Komputer akhirnya baru bisa digunakan menjelang setengah 6. Finalisasi editan video membutuhkan waktu sejam lebih. Tentu saja itu belum upload ke youtube. Dipotong waktu sholat dan makan malam juga...

Selama ini kebanyakan kajian adalah tentang durhaka pada orang tua. Kali ini yang dibahas adalah durhaka terhadap anak. Istilah durhaka mungkin kurang tepat. Lebih tepat zalim. Zalim terhadap anak yang sering kita abaikan. Dengan dalih bahwa ini tugas orang tua. AstaghfiruLlaah...

Memang untuk menjadi anak dan orang tua yang baik itu tak boleh berhenti belajar, ya!?...

Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah