Ramadan 1446 H: Hari 15
Di hari ke-15 Ramadan ini, kami mengawali hari dengan takziah. Keluarga besar WNI di Prancis, khususnya Prancis selatan, kehilangan tetuanya. Ibu Sumirah meninggal dunia Sabtu 8 Maret 2025 yang lalu.
Ya, Bu Sumi adalah WNI tertua di Prancis. Atau mungkin Prancis selatan saja? Yang jelas beliau yang memiliki tanggal lahir terjauh dalam data PPLN Marseille untuk Pemilu 2024 yang lalu. Tinggal di kota sebelah, beliau masuk dalam wilayah kerja saya.
Tahun 2023 saya menghubunginya via telepon untuk pendaftaran pemilih. Telepon rumah, bukan ponsel. Saya mengingat suaranya yang ceria dan masih terdengar cergas di usianya yang sudah lebih dari 90 tahun. Kami berbincang cukup lama dalam bahasa Indonesia.
Beliau bercerita bagaimana masih menyapu sendiri halaman rumah yang ditinggalinya sendiri. Beliau hanya mengeluhkan tak bisa berjalan jauh. Katanya ada tetangga-tetangganya yang selalu siap menemani dan mengantarkannya kalau ada keperluan di luar. Mereka juga membantu berbelanja keperluan sehari-hari untuknya.
Dalam pembicaraan telepon itu, saya menangkap bahwa Bu Sumi kesulitan mengisi formulir pendaftaran Pemilu. Saat saya laporkan ke PPLN, Bapak Konsul didampingi korps konsuler dan perwakilan panitia Pemilu mengunjungi langsung Bu Sumi. Sayang sekali saya tak mendapat kabar sehingga tak bisa membersamai.
Sesudah telepon itu, saya berniat untuk sekali waktu mengunjunginya. Namun entah kenapa terlewat begitu saja. Hingga 3 minggu yang lalu, personil konsulat mengabarkan tentang sakitnya Bu Sumi. Ternyata beliau tinggal di Ehpad (Établissement d'hébergement pour personnes âgées dépendantes, rumah jompo). Sesudah acar tadi, saya ketahui dari tetangganya bahwa Bu Sumi masuk Ehpad seminggu sebelum berita itu.
Saat mendapatkan berita itu, kebetulan saya sedang berada di Paris. Tak lama sepulang dari Paris, saya sakit. Hanya pilek. Namun jelas, saya tak berani mendatangi rumah jompo dengan penghuni yang kesehatannya rentan. Apalagi yang ingin saya kunjungi malah sedang sakit, kan!?
Sayang sekali, saat saya sudah benar-benar sehat, Bu Sumi sudah keburu pergi. Sedih juga, tak sempat bertemu dengannya. Atau tepatnya, bertemu kembali. Karena sebenarnya saya sudah sempat bertemu dengan beliau ... 20 tahun yang lalu!
Saya bertemu dengannya saat baru pindah ke Cannes, di rumah seorang teman di pusat kota Cannes. Saat itu, saya masih muda. Jauh sekali rasanya dibanding dengan Bu Sumi dengan kekayaan pengalaman hidupnya. Saya tak berusaha menjalin kontak dengannya. Mungkin bertemu sekali lagi, di rumah teman yang sama.
Penyesalan memang selalu datang belakangan kan ya!? Karenanya, begitu ada berita kremasinya hari Sabtu tadi dan lokasinya masih di Cannes, saya mengajak Paksu untuk takziah.
Jenazah disemayamkan terlebih dahulu di kota lain lagi. Masih tak jauh, sebenarnya. Namun karena sudah tutup peti pukul 8.30, dan ini masih Ramadan, saya realistis saja: hanya menghadiri upacara penghormatan sebelum kremasi, yang dijadwalkan mulai pukul 9.30.
Saya dan Paksu tiba di tempat parkir sepuluh menit sebelumnya. Kami bertemu seorang teman Indonesia yang tinggal di Antibes. Kami bersama menuju kapel krematorium, tepat saat upacara hendak dimulai, tepat waktu.
Ada banyak juga yang datang, meski Bu Sumi tak memiliki keluarga di Prancis. Sebagian besar orang Prancis. Rupanya teman-teman dan tetangga Bu Sumi. Ibu Kosul hadir bersama 3 staf Konsulat Marseille. Lalu ada saya, paksu, dan teman saya tadi dari WNI lokalnya.
Begitu mendapat tempat duduk, seorang perempuan maju. Saya merasa mengenalnya. Saat dia mulai membacakan eulogi, saya menyadari siapa dia: penulis Emma Blue! Saya mengenalnya saat Club Lecture membahas bukunya di masa pandemi.
Memang saya sudah mengetahui dari akun instagramnya bahwa Emma juga bekerja sebagai penyusun dan pembaca eulogi untuk sebuah pompes funebre (pengelola proses pemakaman). Namun baru kali ini saya mendengar langsung hasil kerjanya yang sangat indah.
Dari susunan kata Emma, saya jadi lebih banyak mengetahui banyak sisi kehidupan Ibu Sumi. Bagaimana beliau tak kesepian, meski jauh dari keluarga dan tak banyak berinteraksi dengan sesama WNI. Terlihat banyaknya yang hadir di upacara penghormatan terakhir itu.
Setelah pembacaan eulogi, ibu Konsul memberikan sambutan. Beliau menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang sudah menemani Bu Sumi sejak masih hidup hingga prosedur penyemayamannya.
Tak ada acara keagamaan, meski diceritakan dalam eulogi bahwa Bu Sumi seorang yang masih menjaga imannya. Salah satu hadirin memberitahukan adanya misa khusus sorenya untuk mendoakan Bu Sumi, di gereja daerah tempat tinggalnya.
Setelah sambutan Bu Konsul, para hadirin dipersilakan mendekat, mengucapkan perpisahan. Acara singkat diakhiri dengan penutupan pintu yang sebelumnya memperlihatkan peti jenazah. Hadirin tak menunggu prosedur kremasi. Semua ditangani oleh pompes funebre.
Ada rasa kehilangan yang tak terdeskripsikan. Begitu pun dengan teman WNI yang menghampiri dan memeluk saya berlinang air mata. Dia baru sekali bertemu dengan Bu Sumi saat berkesempatan menengoknya di Ehpad 2 minggu yang lalu.
Saya dan beberapa hadirin berbagi cerita mengenai beliau. Saya ucapkan terima kasih kepada para tetangga yang telah menemaninya selama ini. Saya ucapkan terima kasih kepada Emma Blue yang kemudian teringat siapa saya. Yah, meski hanya melalui Zoom juga, pasti tak sulit mengingat satu-satunya peserta berhijab kan ya!?
Dalam perjalanan ke tempat parkir, pembicaraan mengenai Bu Sumi masih mengalir. Hangat. Itu mengingatkan saya bahwa kalau sudah di rantau, tetangga dan teman adalah keluarga kita. Apalagi sesama WNI. Semoga saya juga selalu dikelilingi teman-teman yang baik selamanya, seperti halnya Bu Sumi. Aamiin.
Comments
Post a Comment