Tentang Kontrakan

Seorang teman menelepon. Bercerita tentang masalahnya. Masalah keluarga besarnya. Yang terdampak terkait dengan pandemi...

Banyak diantara kerabatnya yang kehilangan pekerjaan. Teman saya dan saudara-saudara yang lain yang masih berpenghasilan, berusaha membantu semampunya. Namun jelas, mereka masih kesulitan. Karena bantuan tidak mungkin diberikan setiap hari, namun makan harus tetap tiap hari, kan!?...

Antara memang tak mungkin banyak membantu, namun hati teriris mendengar cerita keponakan yang "Kalau ada sisa nasi ya makan. Kalau enggak, ya besok saja"... Terdengar suara teman saya itu bergelombang. Menahan haru, mungkin... Lalu dia berkata, "Wah, malah aku jadi cerita nih!"

Memang selama ini dia cuma bilang "ada masalah, tapi aku nggak mau cerita". Dan memang saya bukan tipe pengejar. Saya bukan tipe yang bertanya sampai detil. Tidak kepo akan urusan pribadi orang lain. Tapi kalau diceritain, pasti saya dengarkan...

Ya, hanya mendengarkan. Bahkan menanggai pun saya tak tahu harus bagaimana yang tepat. Banyak jeda waktu berdiam dalam pembicaraan telepon kami. Canggung. Tapi daripada mengeluarkan komentar yang tidak pada tempatnya, saya memilih keheningan saja...

Dan memang, saya rasa teman saya hanya ingin mengungkapkan beban di kepalanya saja. bukan untuk meminta bantuan. Bercerita sedikit, agar tak menyesak di dada. Dikeluarkan, dialirkan, agar tak menyebabkan ledakan di kemudian...

Kalau perlu bantuan, tentu bukan ke saya dia menelepon. Dia tahu kondisi ekonomi kami tak lebih baik daripadanya. Dan memang situasi pandemi yang membuat kebutuhan bantuan menjadi meningkat...

AlhamduliLlah keluarga saya sendiri dalam keadaan baik. Ada yang kehilangan pekerjaan. Ada yang gajinya harus ditangguhkan. Ada yang restorannya sepi, ada yang pesanannya menurun. Tapi semua masih bisa makan cukup. Dan semua sehat, itu yang utama!

Saya sendiri dalam situasi yang kurang nyaman. Karena pengontrak rumah saya belum melunasi bayaran. Saat ditagih, meminta penangguhan dan keringanan. Setelah saya bilang memaklumi, tak ada lagi jawaban...

Baru kali ini saya harus terlibat langsung dengan pengontrak. Pengetatan perhitungan perpajakan, membuat adik saya memilih mundur dari mengurusi kontrakan. Posisinya sebagai pejabat pemerintahan, membuat segala pemasukan harus ada justifikasinya. Urusan kontrakan dikembalikan ke saya...

Saya sendiri sudah tak memiliki rekening di Indonesia. Mengirim uang ke sini? Hanya membuat masalah perhitungan pajak yang sudah mantap saja... Solusi sementara adalah menitipkan uangnya pada ibu saya. Selama ini, tak pernah kami mengirimkan uang padanya. Apalagi rumah itu hanyalah bagian warisan bapak juga. Pembagian secara kekeluargaan. Bisa jadi Ibu juga memiliki hak atasnya, bila dihitung secara rinci...

Ada pikiran untuk menjualnya saja. Daripada repot pengurusannya juga. Namun untuk menjualnya, perlu proses. Dan terpikir juga pengontrak yang sudah bertahun-tahun di sana...

Praktis sejak saya mengontrakkan rumah, belum pernah ganti pengontrak. Memang saya kontrakkan dengan harga murah untuk keluarga muda ... waktu itu. Sekarang sih anak-anaknya juga sudah besar-besar. Sudah bukan keluarga muda lagi...

Namun pandemi memang membuat segala berantakan. Saya tak berani menanyakan apakah secara ekonomi pengontrak saya baik-baik saja. Meski saya sudah mengikhlaskan kontrakan tahun lalu kalau semisal tak bisa dilunasinya...

Saya hanya bisa bertanya, apakah mereka sehat-sehat semua. Dijawab sehat, rasanya sudah cukup. Saya tunggu saja itikad baiknya. Mungkin saya tunggu satu-dua minggu lagi sebelum kembali mengontaknya. Semoga dia bertanggung jawab, mengontak saya terlebih dahulu...


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah