Dijadikan Contoh

Pengalaman kemarin dengan ibu-ibu muda saat pertemuan masyarakat Indonesia membuat saya jadi teringat beberapa kisah dengan anak sendiri...

Salah satunya adalah saat saya dijadikan contoh di tempat praktek dokter anak... 

Sebelumnya mungkin perlu dijelaskan bahwa anak-kami didampingi dokter anak yang relatif sama sejak lahir hingga dokternya pensiun! Kebetulan sekali dokter pensiun saat Ucok masuk usia remaja juga. Dan frekuensi kontrol rutin Butet-pun sudah tinggal setahun sekali saja... Relatif. Karena kami sempat pindah rumah, ganti dokter, tapi tak cocok dan balik ke dokter yang sama...

Saat kelahiran Ucok 20 tahun yang lalu, dokter anak-anak ini belum termasuk yang menggalakkan pemberian ASI. Di rumah sakit juga dia sudah langsung mengajarkan bagaimana membuat susu formula yang benar. Mungkin dia melihat bahwa saya kurus kering menyedihkan...

Tapi saya ngeyel. Tetap memberikan ASI yang waktu itu disarankan eksklusif hanya 4 bulan, lalu melanjutkan hingga 2 tahun ditambah MPASI...

Seiring perkembangan waktu, ASI makin diakui yang terbaik bagi anak manusia. Dokter mengikuti perkembangan dunia kesehatan. Dan dia melihat hasilnya pada si Ucok yang perkembangannya bagus dan relatif jarang sakit. Meski memang berada di kurva terbawah untuk berat badannya...

Saat melahirkan Butet, saya memilih dokter yang sama. Beliau sudah tahu persis bahwa saya pasti akan memberikan ASI lagi. Eksklusif selama 6 bulan, kali ini. Sesuai anjuran terbaru WHO. Dan beliau memberikan dukungan!...

Setiap kontrol yang satu bulan sekali sampai usia bayi satu tahun, dokter selain mengecek perkembangan Butet, juga menanyakan kabar saya. Kabar pemberian ASI. Apakah lancar-lancar saja, memastikan asupan gizi saya cukup, mengingatkan jika perlu suplemen, dan memberikan masukan jika ada masalah...

Beberapa kali, jika ada pasien lain masuk mengantri, atau saat saya yang mengantri dan pasien lain keluar dari ruang periksa, saya ditunjuknya. Nih, ibu ini menyusui dua anaknya. Keduanya sehat-sehat. Yang besar sudah kelihatan pintarnya, lho!...

Tentu saja saya jadi jengah. Apa-apaan sih? Tapi saya ketawa-ketawa saja. Lama-lama jadi terbiasa. Dan jadi malah mikir, oke juga nih, buat kampanye ASI...

Kadang dokter berlebihan juga sih... Misalnya suatu saat pake menyebutkan pendidikan saya dan suami. Pekerjaan suami saya, mengapa kami tinggal di Prancis ini. Mungkin untuk menekankan bahwa memberi ASI itu bukan sesuatu yang primitif. Bukan pula karena menunjukkan ketidakmampuan membeli susu formula... 

Pernah juga dokter menunjuk ke saya dan bilang ke seorang ibu, ngapain malu menyusui. Lihat ibu ini. Pake jilbab tapi tetap menyusui meski sedang tak di rumah sendiri!...

Memang saya tidak sungkan menyusui di tempat umum jika diperlukan. Termasuk pernah di ruang tunggu dokter itu. Tapi ya nggak sembarangan di tengah-tengah keramaian juga. Selalu berusaha mencari tempat yang cukup menepi... 

Dan kerudung saya? Justru itu bermanfaat untuk menutupi!...

Suatu hari, saat sedang mengantri di ruang tunggu, dokter memanggil saya. Sini sebentar ke ruang praktek, katanya. Saya tahu masih ada pasien lain di sana. Ada apa nih?

Kepala nongol di ambang pintu, dokter langsung nanya, bawa minum nggak? Heh? Ya, bawa, jawab saya tak mengerti maksud pertanyaannya...

Tuh, harus begitu. Kalau menyusui tu harus selalu siap sedia bawa air minum. Nggak boleh sampe haus. Biar menyusuinya sukses. Kayak ibu ini nih. Ke mana-mana siap bawa botol air... Bla bla bla... Gna gna gna...

Panjang-lebar pak dokter menceramahi si ibu yang senyum-senyum sambil melirik saya sesekali. Saya senyum-senyum juga, salting, tak tahu harus bagaimana masih berdiri di ambang pintu begitu...

Saat pak dokter akhirnya melepaskan saya kembali ke ruang tunggu, ibu-ibu lain yang di situ senyum-senyum memandang saya. Saya makin salah tingkah lagi. Merasa tak pantas untuk dijadikan contoh...

Pasalnya, hari itu saya memang membawa botol air. Tapi tujuan utamanya bukan sebagai minuman!... Air yang saya bawa beku. Memang saya suka membekukan botol air di musim panas sebelum dibawa jalan-jalan. Biar lebih awet dinginnya. Tapi kali ini tujuan botol di tas saya berbeda!

Entah memang sudah ada prasangka bakal ada kejadian, atau bagaimana, sebelum berangkat saya berpikir tak usah membawa air minum saja. Toh bakal langsung pulang dari kontrol dokter. Apalagi hari itu jadwal Butet vaksinasi. Tak berniat mampir-mampir. Tak mau mengambil resiko Butet yang kadang rewel sesudah menerima suntikan. Dan vaksin pun sudah siap di tas perlengkapan bayi...

Memang di Prancis, jika vaksinasi dilakukan dokter di tempat prakteknya --bukan di rumah sakit atau klinik-- pasien harus membawa vaksin sendiri. Vaksin dibeli di apotik dengan resep dokter. Dibawa dan disuntikkan oleh dokter saat kontrol berikutnya...

Dan ... botol air beku saya bawa untuk menjaga temperatur vaksin! Bukan (semata-mata) sebagai air minum!...

Kembali duduk di ruang tunggu, saya tertawa dalam hati. Merasa geli sekaligus bersyukur. Sepertinya itu tanda bahwa saya masih diingatkan untuk tidak bersombong. Bahwa kadang kita terlihat bagus itu karena ada hal-hal yang kurang baik yang tertutup...

Seperti saya yang terlihat rajin selalu membawa botol air minum. Siapa pikir kalau air itu diniatkan sebagai pendingin vaksin? Meski memang bisa diminum juga sih... 😇


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah