Doa Ibu

Masih teringat di benakku hari pertama Putri meninggalkan rumah untuk merantau, enam tahun yang lalu. Aku masuk ke kamarnya sepulang mengantarnya ke bandara. Saat itu, ruangan ini terlihat lebih besar. Tempat tidur yang menempel di dinding sebelah kanan belum dirapikan. Meja belajar di sebelahnya tampak berantakan.


Pintu lemari terbuka lebar. Beberapa pakaian bahkan tergeletak di lantai. Bermacam kertas, surat, print-out, rekening, ... dan label kaus kaki di bawah meja. Hanya figurin-figurin koleksi yang tertata rapi di raknya.


Butuh waktu hampir dua minggu untuk membuat kamar itu terlihat layak. Memunguti, menyortir, dan membuang barang-barang dari sana memang tidak mudah. Apalagi jika semua dikaitkan dengan nostalgia. Itu coret-coretnya, itu draf surat pengantarnya, itu rekening bank terakhirnya --karena toh setelahnya semua didematerialisasi--, itu bungkus camilan favoritnya, … Membersihkan pikiran-pikiran ini membutuhkan waktu lebih lama daripada membereskan barang-barangnya sendiri. Meski harus kuakui, bahwa Putri memang anak yang cukup ceroboh.


Di balik sifat pemalunya, tersembunyi kepribadian yang meledak-ledak. Dia yang hampir tidak tidak pernah bicara di luar, adalah radio di rumah. Musik latar. Berikut iklannya. Semua orang meyakinkanku bahwa lebih baik Putri seperti anak domba di luar dan serigala di dalam rumahnya sendiri, dan bukan sebaliknya. Tapi dia bukan domba atau serigala. Dia lebih seperti kucing. Atau anak kucing, lebih tepatnya lagi!


Anak manis yang tampak baik dan penurut itu, tiba-tiba memutuskan untuk tidak mau lagi menjadi ahli IT seperti yang dia cita-citakan sejak kecil. Seperti aku, papa, dan abangnya. Putri tak suka matematika, katanya. Sulit masuk ke jurusan itu, argumennya. Tapi kemudian dia memilih fakultas kedokteran. Yang tentu saja seleksinya tidak lebih mudah!


Bagaimana mungkin aku melarangnya memilih melakukan apa yang dia sukai? Apalagi dia menjalaninya dengan sangat baik. Sampai bahkan mendapat beasiswa penuh untuk spesialisasi di universitas terkemuka di Inggris! Aku bahkan tidak mengetahui proses seleksinya sampai dia memberi tahu akan berangkat di tahun ajaran berikutnya. Memberi tahu. Bukan minta ijin. Dia telah mengambil keputusan!


Bangga? Itu pasti! Tapi ada terselip kesedihan juga. Sedih bahwa dia yang selama ini biasa menceritakan segala detil kesehariannya padaku, ternyata menyembunyikan sesuatu juga. Sedih bahwa sesudahnya aku harus menunggu satu tahun, untuk bisa memeluknya kembali saat libur musim panas dia pulang, atau aku yang mengunjunginya...


Saat ini, kamarnya bersih dan rapi. Anak kucingku selalu menyisihkan waktu untuk membereskannya setiap kali sebelum berangkat kembali merantau. Aku duduk di kursi dan menyalakan CPU. Dia tak pernah lupa menyediakan akun terbuka setiap kali kami mengganti komputer agar bisa digunakan siapa saja. Tapi aku tidak melanjutkan. Hanya memandangi sebungkus permen karet dari liburan musim panasnya yang lalu, yang tergeletak di sebelah layar.



“Bu, Putri pulang dua minggu lagi.”


Dia jarang menelepon rumah. Takut mengganggu kalau tidak pas waktunya, alasannya. Aku yang biasa rutin mengontaknya melalui video chat untuk sekedar meredakan rinduku. Dengan memperhitungkan jarak tujuh jam dari negeri GMT tempat tinggalnya, tentu.


Tentu senang sekali, aku mendengarnya. “Kirimkan detail penerbanganmu! Aku akan menjemputmu di bandara. Kamarmu selalu siap kok. Paling hanya perlu mengganti sprei dan sarung bantal saja. Aku masakkan tongseng kambing kesukaanmu. Kamu mau es dawet atau kelapa muda untuk minuman penutupnya?"


“Bukan kelapa muda kalengan, kan Bu!?" Putri tertawa. Tapi ada yang berbeda dari tawanya.


Tunggu! “Bagaimana dengan rencana pascadoktoralmu?” 


Hanya sebulan yang lalu, dia masih begitu bersemangat bercerita tentang dengan keberhasilan penelitiannya. Sampai-sampai dia tidak mau kembali ke Indonesia segera setelah mendapatkan gelar doktornya.


“Batal, Bu. Karena pandemi, perusahaan tempat penelitian tidak bisa lagi menerima peneliti dari luar.”


“Apakah tidak ada tempat lain untuk melakukan penelitian?” tak urung aku ingin tahu.


“Putri sudah cari. Tapi tidak ada yang bisa. Paling tidak untuk saat ini. Makanya Putri harus pulang. Izin tinggal Putri tidak bisa diperpanjang.”


Tenggorokanku tercekat. Antusiasmeku mereda. Seharusnya aku bisa merasakannya. Sudah beberapa minggu Putri berhenti membicarakan rencana penelitiannya setiap kali kami berbicara. Aku pikir itu agar tidak membuatku sedih saja, makin lama berpisah dengannya.


Suara pelannya masih terngiang di telingaku. Putri meneleponku siang tadi. Tentu masih sangat pagi di Cambridge.


Saat ini kamarnya tampak sempit. Aku melihat langit kelabu di balik kaca jendela. Apakah mendung juga, langit tempat tinggalnya?


Tuhan mengabulkan doaku. Tapi aku tak yakin, apakah itu yang benar-benar ‘ku mau...





Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah