Bahasa Cinta

Nah, sekarang kerasa untuk apa gabung ke wag KLIP. Bener kata salah satu senior; bisa membangkitkan ide menulis!... 😉

Pagi ini, buka wag, sudah ada 270an messages. Memang pukul 8 pagi di sini bertepatan dengan 14 WIB. Wajar saja obrolan sudah panjang dan beragam subjeknya. Dari sekedar setoran mengingat sudah dekat akhir bulan, hingga hantu-hantuan. Tapi yang membangkitkan ide buat saya adalah tentang pendidikan bahasa ke anak...

Salah satu blogger menuliskan pengalaman berbahasanya dengan anaknya. Lalu ada yang menanggapi di wag. Lalu mengalirlah obrolan yang sebenarnya sudah mandeg saat saya online. Karenanya, ya sudah, saya nulis di blog sendiri saja. Sekalian mencatat pengalaman pribadi yang masih saya ingat...

Sebenarnya saya sudah sempat menulis beberapa kali tentang pengalaman berbahasa ini. Namun di medsos memang susah trackingnya. Nah, kerasa manfaat blogging kan!?... 😉


Tentang Ucok

Anak sulung saya lahir di Prancis. Dari kecil, kami berbahasa Indonesia dengannya. Waktu itu tak ada pemikiran mendalam. Alasannya simpel saja; memang saya dan suami belum jago bahasa Prancisnya! 😁 Serapan bahasa Prancis untuk si Ucok didapatkan dari buku, tivi, dan saat di luar rumah... 

Umur 2 tahun dia lancar berbicara bahasa Indonesia dengan bahasa Prancis yang terbatas pada bonjour, merci, au revoir, voiture, bus, dan train. Juga warna dan angka sampai berapa, saya lupa...

Umur 3,5 tahun masuk maternelle (taman kanak-kanak), dia gagap bahasa selama 2 bulan pertama. Mengerti perintah-perintah, tapi masih terhambat untuk menjawabnya. Waktu itu saya dan suami sepakat menyekolahkannya setengah hari saja. Toh saya tidak bekerja. Dan siang hari untuk kelas petite section (setingkat dengan taman bermain), kebanyakan waktunya digunakan untuk tidur siang...

Awal-awal sekolah, dia menangis saat saya lepaskan di pintu gerbang. Memang begitu aturan sekolahnya; anak-anak hanya diantar sampai gerbang saja. Terlihat dia kebingungan di tengah banyaknya orang. Pelan-pelan, begitu masuk gerbang, dia langsung mencari guru atau ATSEM (semacam asisten guru)-nya. Atau kadang mereka yang datang menyambut saat terlihat si Ucok menangis kebingungan...

Pada saat jam menjemput, bu guru menjelaskan kalau Ucok tak lama menangis. Sesudah itu dia ceria pengikuti pembelajaran di kelas. Anaknya aktif meski tak banyak bicara. Pelan-pelan saja, katanya...

Karenanya, saat lalu datang libur Toussaints, saya dan suami sepakat mendaftarkannya ke centre loisirs untuk tidak memutus ritmenya...

Di centre, suasana lebih santai. Kelas kecil, bercampur semua siswa dari ketiga tingkat maternelle. Ucok paling kecil. Dia diperhatikan oleh semua anak yang merasa lebih besar. Saya pikir, di sana lah dia mendapatkan pijakan kepercayaan diri yang membuatnya lebih bisa berekspresi. Saat kembali ke sekolah, 1-2 minggu kemudian dia menampakkan kemajuan yang pesat dalam berbahasa Prancis...

Pada rapornya di bulan Desember, terlihat semua targetan tercapai. Bahkan dia yang terbaik dalam hal angka. Targetan petite section hanya sampai 5, dia sudah sampai 10!...

Sekitar waktu itulah saya mendapatkan teori tentang bahasa cinta dari sebuah acara televisi tentang parenting Les Maternelles di France 5. Namanya sekarang berganti menjadi La maison des maternellesMaternelles dalam artian maternal, keibuan. Bukan taman kanak-kanak... Teori ini menjelaskan bagaimana sebaiknya orang tua berkomunikasi kepada anaknya saat tinggal di negara yang berbahasa berbeda dengan negara asalnya. Bagaimana membesarkan anak multibahasa...

Saat itu, teori yang banyak beredar adalah bahwa orang tua harus menggunakan satu bahasa saja kepada anak. Utamakan yang sesuai dengan bahasa tempat tinggal. Agar anak tidak bingung bahasa. Pada perkembangannya, banyak sekali terjadi pernikahan campuran, di mana bapak dan ibunya sendiri berbeda bahasa. Keputusan yang sering diambil adalah mengorbankan salah satu bahasa, hanya menggunakan salah satu, dan melupakan yang lain, atau bahkan megabaikan kedua bahasa dan memilih bahasa lokal tempat tinggal, juka keluarga itu merantau...

Disebutkan di acara itu, bahwa sebaiknya orang tua berbahasa sesuai dengan bahasa ibunya ke anak. Bahasa yang otomatis muncul di kepala. Bukan bahasa yang dipelajari belakangan. Bukan bahasa yang diadopsi. Bukan bahasa yang membutuhkan pemikiran dan terjemahan sebelum diucapkan... Bahasa yang otomatis keluar saat kita marah-marah... Lho? Hehehe... Tapi memang begitu yang saya ingat dari paparan ahli waktu itu... 😀

Kenalkan anak dengan kosa kata bahasa orang tuanya. Biarkan anak belajar bahasa lokal dari lingkungannya, kalau berbeda dengan bahasa orang tua. Dari sekolah, dari tetangga, bacaan, atau tontonan. Anak-anak menyerap dengan cepat, katanya. Tak perlu khawatir akan kebingungan bahasa. Yang penting adalah konsisten dengan satu bahasa. Jangan campur-campur... 

Dikatakan bahwa orang yang multibahasa akan lebih terlatih logikanya. Akan lebih mudah dalam menganalisa. Lebih jago matematika... Tapi saya belum ngecek lagi kebenarannya... 😅

Tadinya saya skeptis. Terutama saat awal-awal di mana Ucok agak kesulitan di sekolahnya. Lalu ada pengalaman seorang teman Indonesia yang memantapkan pilihan saya. Beliau menikah dengan orang Italia. Di rumah, si ibu berbahasa Indonesia ke anak-anaknya, si bapak berbahasa Italia ke anak-anaknya, ibu dan bapak berbincang menggunakan bahasa Inggris. Anak-anak yang hanya berbahasa Prancis di sekolah dan lingkungan itu menguasai 4 bahasa!...

Ucok sendiri, di usianya yang menjelang 20 tahun saat ini, bisa berbincang lancar menggunakan 3 bahasa. Padahal bahasa Inggrisnya hanya belajar dari sekolah. Malah sekarang berkuliah menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang tak beraksen Prancis. Penting, itu! 😝 Meski justru bahasa Indonesianya yang beraksen Prancis. Dengan wajah Asia-nya, ini cukup bisa membuat bengong lawan bicara saat berbincang dengan orang Indonesia... 😅


Tentang Butet

Beda Ucok, beda pula Butet. Saat Butet lahir, jarak usianya dengan Ucok hampir 7 tahun. Besar dan bersekolah di Prancis, bisa dimaklumi bahwa kosa kata Prancis si Ucok lebih lengkap ketimbang kosa kata bahasa Indonesianya. Jika kami ajak bicara dengan bahasa Indonesia, Ucok mulai sering menjawab dengan bahasa Prancis. Lebih karena kepraktisan. Lebih karena tidak menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia... Mula-mula saya dan suami rajin mengoreksi, memberi tahu. Namun bahasa Prancis kami sendiri juga membaik. Kami pelan-pelan suka terbawa berbahasa Prancis juga...

Ucok otomatis berbahasa Prancis pada adiknya. Saya dan suami masih berusaha konsisten pada awalnya. Sayangnya pelan-pelan kali terbawa. Dan parahnya, tanpa sadar kami suka mencampur bahasa. Satu kalimat Indonesia, selanjutnya Prancis. Bahkan dalam satu kalimat suka bercampur bahasa juga. Dan ini fatal!...

Butet mengalami bingung bahasa. Anaknya pendiam di sekolah. Didukung tubuhnya yang mungil, dan usianya yang memang termasuk muda karena kelahiran Desembernya, dia tak banyak bicara. Apalagi sering kali teman-temannya yang secara fisik lebih besar, menganggapnya sebagai adik. Melindunginya. Menjawabkan pertanyaan yang diajukan padanya... 😅

Guru-guru dan psikolog sekolah tak khawatir. Selama Butet masih mengerti perintah dan menjawab saat ditanya, tidak masalah. Berbeda dengan saat saya bawa Butet liburan ke Indonesia. Langsung mengalir saran agak memaksa untuk konsultasi ke psikolog tumbuh-kembang! 😥 Untungnya saya sudah cukup percaya diri akan kemampuan saya mengasuh anak... 😎

Entah apakah efek bingung bahasa di masa kecilnya, Butet masih tetap cenderung pendiam. Tapi jangan salah. Di rumah dia tak berhenti bicara. Kalau dia terlihat pemalu di depan orang dewasa, bersama teman-temannya, dia seru bercerita. Dan meski tak banyak cuap, karakternya kuat. Tak mudah terbawa pengaruh orang lain...

Semakin besar, pelan-pelan, pemalunya berkurang. Ada efek mengikuti kursus balet juga, saya rasa. Kursus yang dimauinya sendiri! Banyak yang tak menyangka saat di suatu pertunjukan akhir tahun, Butet ditempatkan di paling depan! Diam-diam, ternyata... 😎

Imbas jangka panjang dari bingung bahasa yang terasa adalah bahwa sampai sekarang Butet tak percaya diri berbahasa Indonesia. Dia mengerti, namun tak mau mengungkapkannya. Sampai sekarang saya masih menganalisa. Saya tahu dia mampu. Apakah karena lawan bicaranya terlalu cepat? Lawan bicaranya suka memotong kalimat Butet karena tak sabar dan sudah tahu maksudnya? Atau karena orang meledek aksen Prancisnya?... Butet berbeda dengan Ucok. Ucok bisa cuek dengan ledekan. Butet tidak... Sampai saat ini...

Usianya baru 13 tahun. Butet sudah mulai menguasai bahasa Inggris yang juga hanya dipelajarinya di sekolah. Kita lihat saja perkembangan selanjutnya...


Kuncinya adalah Konsisten

Dari pengalaman berbeda dengan dua anak ini, saya selalu menyarankan ke ibu-ibu muda untuk konsisten dengan bahasa cinta. Jangan takut bahwa anak akan bingung bahasa. Kita sendiri, seperti rata-rata orang Indonesia, juga dulu berbahasa daerah di rumah dan berbahasa Indonesia di sekolah, kan!? Kalau ingat itu kadang saya jadi mikir, agak menyesal. Kenapa saya tidak berbahasa Jawa sekalian saja ke anak-anak ya!?... 🤔😄

Apalagi ada pengalaman saat saya pulang 4 bulan ke Indonesia untuk menyelesaikan kuliah (itu cerita lain lagi 😜), si Ucok cepat sekali adaptasi dengan bahasa Jawa. Padahal saya lebih banyak di Bandung ketimbang di Solo. Hanya dari mendengar obrolan saya dengan keluarga besar, dia cepat mengerti beberapa perintah dalam bahasa Jawa meski belum bisa mengungkapkannya...

Kami mudik hanya 2 tahun sekali. Saat mudik itu, baru anak-anak intensif berbahasa Indonesia. Meski berbahasa Indonesia di rumah sendiri, anak-anak bisa mencampur dengan bahasa Prancis. Toh kami, ayah-ibunya mengerti. Tidak demikian dengan eyang-eyang, om-tante, dan sepupu-sepupu mereka. Di awal-awal pasti ada masa penyesuaian. Setelah beberapa hari, kemampuan bahasa mereka seakan terpancing. Saat itulah mengalir asiklah obrolan dengan keluarga besar...

Anak-anak mudah menyerap apapun yang dihadapinya. Tugas kita memberikan serapan yang baik, yang kuat dan mantap bagi perjalanannya ke depan...

Konsisten itu kuncinya. Mungkin kita membacakan buku dengan berbagai bahasa. Mungkin di luar kita berbicara dengan bahasa lokal. Mungkin dengan suami kita berbindang dengan bahasa ke tiga. Jangan lupa gunakan bahasa cinta untuk berkomunikasi dengan buah hati kita...

Tak perlu terpengaruh dengan komentar-komentar negatif dari luar yang menyalahkan metode pengasuhan kita. Yakin, bahwa kita selalu memilih yang terbaik buat anak-anak kita, meski hasilnya mungkin tidak seideal yang kita harapkan. Jadikan ketidaktepatan hasil dari pilihan kita menjadi pijakan untuk memperbaiki langkah kita berikutnya. Dan menjadi teladan bagi yang lain...

Jangan lupa sabar. Pahami bahwa anak membutuhkan waktu adaptasi untuk menyesuaikan diri saat berpindah lingkungan, meski bahasa lokal sebenarnya sudah dikuasainya. Selalu berikan motivasi, dorongan ke anak-anak kita...

Konsisten. Agar multibahasa terwujud dengan naturalnya... 😉


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah