Sampah dan Kebiasaan

Hari ini departement kami memasuki hari pertama lockdown lokal. Hanya weekend saja,selama dua weekend ke depan. Dari Jum'at pukul 18.00 hingga Senin pukul 6 pagi. Atau kata politisi, lockdown-nya seharian aja kok, dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore!... Habis itu bukan lockdown, tapi jam malam!... Yeih, sama saja!...

Saya termasuk yang menunggu masa lockdown. Ngeri-ngeri sedap melihat perkembangan pandemi yang belum menuju arah perbaikan. Tapi lockdown lokal kali ini, saya nilai tidak adil sama sekali!

Bagaimana tidak? Alasannya adalah untuk menghalangi datangnya turis ke daerah kami. Sedangkan jadwal libur sekolah kan bergantian. Lockdown jatuh di masa daerah kami masuk liburan! Hanya ada zone B yang libur. Dan zone B adalah zoe terakhir pada taun ajaran ini. Kalau memang ingin menghalangi turis datang ke daerah kami, kenapa tidak saat zone A dan C libur kemarin?

Ini sih sama saja dengan menghukum kami. Bayangkan orang-orang yang harus bekerja dan mengirimkan anak-anaknya ke centre loisirs. Mereka hanya punya waktu weekend saja untuk bisa sekedar ke luar rumah sekeluarga. Dengan adanya lockdown, kami hanya boleh keluar rumah daam radius 5 km saja selama 1 jam! Itupun harus dengan membawa attestation. Akibatnya kemarin sore jalanan macet oleh orang yang berbondong ke luar kota. Ya, tak hanya di Indonesia saja orang meninggalkan kota, sehari sebelum diberlakukannya lockdown, seakan tak mengerti apa esensi dari lockdown itu sendiri... 😒

Lockdown weekend, kami tak takut. Kami yang orang rumahan merasa tak bermasalah tetap tinggal di rumah saja. Hanya mungkin agak terhambat dalam belanja mingguan yang memang biasa kami lakukan di akhir pekan. Harus mencari waktu yang tepat dan tidak boleh lupa membawa attestation. Kebetulan kami baru saja kehabisan beras. Rencananya besok baru belanja karena saya tak mungkin menggotong 20kg beras jatah 2-3 bulanan kami itu. Karenanya saya harus menunggu hari di mana suami tak bekerja. Tapi lihat saja besok. Mungkin kami akan bertahan dengan beras supermarket saja...

Weekend adalah hari ngobrol santai dan beberes. Termasuk buang-buang sampah. Tempat sampah organik milik building ada di luar pintu gerbang. Masih menempel di gerbang. Tak masalah. Tempat sampah daur ulang untuk kertas, plastik, dan kaleng ada di basement. Tak masalah. Tempat sampah kaca dan kain ada di luar lingkungan rumah. Agak jauh. Di dekat taman. Hanya itu yang harus menunggu pembuangannya. Tapi toh tak banyak sampah kaca kami. Dan belum tentu sebulan sekali membuang pakaian. Masih bisa menunggu kalau enggan membuat attestation...

Kami memang sudah terbiasa memilah sampah. Belum sempurna, pastinya. Tapi sudah semaksimal yang kami bisa... Jangan kira semua orang Prancis melakukannya. Masih ada saja teman-teman Prancis yang ke rumah dan kagum melihat kami memilah sampah. Tak heran pemerintah daerah kami sampai membuat sayembara undian, dengan cara menuliskan nama dan alamat di atas kertas, memasukkannya ke dalam botol plastik transparan, dan membuangnya pada tempatnya. Pemerintah juga secara kontinu memberikan kompensasi point yang bisa ditukarkan dengan hadiah, bagi yang membuang sampah kaca pada tempatnya melalui program cliink...

Membuang sampah pada tempatnya adalah suatu kebiasaan yang harus dipupuk. Memilah sampah adalah level berikutnya. Namun jika sudah terbiasa, ini akan terbawa ke mana saja...

Saat kami mudik ke Indonesia, misalnya. Berat sekali rasanya membuang karton susu ke dalam tempat yang sama dengan sampah makanan. Awalnya saya paksakan ke anak-anak mengikuti saja dengan dalih tak ada pilihan. Memang begitu kebiasaan di sana. Semakin besar, semakin berat anak-anak melakukannya. Sejak beberapa kali mudik terakhir, saya menemukan solusinya...

Saya dan anak-anak memisahkan sampah daur ulang ke dalam plastik-plastik besar yang masih juga diberikan oleh supermarket sampai terakhir kali mudik 3 tahun yang lalu. Entah sekarang bagaimana... Kami pisahkan katalog dan majalah, karton kemasan dan kotak susu, kaleng minuman dan kaleng-kalengan lain, lalu botol plastik, masing-masing dalam tas yang berbeda. Kalau plastik penuh, kami letakkan di depan gerbang rumah. Berharap pemulung mengambilnya terlebih dahulu sebelum petugas kebersihan...

Saya sampaikan ke anak-anak, memang sementara masih begitu di Indonesia; tugas mendaur ulang masih dilakukan secara manual, bahkan menjadi mata pencaharian. Karenanya, dengan memilah sampah kita bisa juga membantu para pemulung; memudahkan menemukan sampah yang berharga untuk mereka, mengurangi waktu mereka untuk mengorek tempat sampah yang bercampur segala macam isinya...

Bagaimana menurut anda?...

Saya dengar, sekarang bahkan ada bank sampah atau ATM sampah. Ada sistem jemput sampah juga. Entah apakah ada di daerah sekitar keluarga kami... Kabar menggembiarakan, tentu... Membuat saya teringat pada saudara-saudara pemulung. Berharap semoga pahlawan daur ulang itu tidak terlupakan... 

 

Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah