Kartini, Princess of Java

"Kowe wis yakin karo pilihanmu, mbak?"

Kaget, saya mendengar kalimat pertama di film Kartini yang akhirnya bisa saya tonton di Netflix hari ini. Kaget, karena siapapun yang berbicara, yang memang tidak terlihat di layar, tak mungkin menggunakan pilihan bahasa begitu...

Bahasa Jawa ngoko merupakan tingkatan bahasa Jawa yang terendah. Panggilan "mbak" menunjukkan bahwa yang berbicara mempunyai kedudukan lebih rendah ketimbang yang diajak berbicara. Seharusnya di sini menggunakan minimal krama alus...

Memang bahasa ngoko lazim digunakan untuk kakak-beradik. Atau sepupu dekat. Namun di sini kasusnya bahwa Kartini berasal dari keluarga ningrat. Ayahnya bupati. Bahasa ngoko tak mungkin dipergunakan dalam pembicaraan sehari-hari dalam keluarga. Bahasa ngoko hanya akan dipergunakan dalam berbicara kepada para pelayan saja. Jadi benar-benar tak masuk akal apalagi di sini seorang adik berbicara kepada mbak-nya menggunakan bahasa ngoko...

Ternyata beberapa menit film berlalu, ada adegan di mana Kartini meminta kepada ke dua adiknya Kardinah dan Rukmini untuk tidak berbahasa krama kepadanya. Gunakan bahasa ngoko saja jika mereka sedang hanya bertiga. Bahkan tak perlu memanggil "mbakyu". Cukup nama saja...

Baiklah. Oke. Namun lalu kemudian dalam film, ketiga unsur Het Klaverbat tetap menggunakan bahasa ngoko meski di luar kamar pingitan. Di depan ibu Ngasirah pun. Dan anehnya, ibu Ngasirah tak mengoreksi mereka...

Baiklah, mungkin karena si ibu baik. Namun bagaimana mungkin berbahasa ngoko ke adik mereka yang masih kecil saat memintanya tolong menyerahkan surat kepada Nyonya Ovink Soer? Dan "Kekno layang iki" jelas bukan bahasa yang tepat, seandainya mereka menggunakan bahasa ngoko sekalipun. "Caosna layang iki". Caos karena penerima berstatus lebih tinggi ketimbang pemberi. Kecuali kalau anak bupati dianggap lebih tinggi ketimbang istri pejabat Belanda...

Yang dibahas kok soal bahasa? Ya karena saya tak tahu banyak soal kisah hidup Kartini. Dan yakin, sudah banyak yang membahas soal kesesuaian sejarah, meski saya tidak mencarinya sendiri...

Lepas dari kesesuaian dengan sejarah, film ini mengingatkan saya pada banyak sekali unsur Jawa yang sudah saya lupakan. Bagaimana anak menyembah pada orang tua, laku dhodhok alias berjalan dalam posisi duduk, ... 

Ada satu hal yang menyentuh saya secara pribadi, yaitu tentang Kartini yang harus memanggil "Yu" kepada ibu kandungnya...

Ini benar-benar terjadi di keluarga dekat saya sendiri. Bagaimana seorang ayah yang menikah kembali dengan wanita bangsawan untuk mengukuhkan status kebangsawanannya. Bagaimana kemudian dia meletakkan istri pertamanya di belakang, dan lebih menampilkan istri bangsawannya. Bagaimana anak-anak yang terlahir dari istri pertama itu memanggil "Yu" kepada ibu kandungnya...

Sebenarnya banyak poin yang saya harapkan diangkat dari film Kartini. Terutama adalah bagaimana Kartini bisa lebih berkarya sesudah menikah. Bagaimana pernikahan membukakannya pintu ke banyak hal. Meski memang dia harus melupakan beasiswanya ke Belanda...   

Film juga tidak banyak membicarakan mengenai tulisan-tulisan dan pengaruhnya baik di Indonesia maupun di luar. Hanya sempat sekilas disinggung pada adegan bersama kangmasnya yang kuliah di Belanda yang menyatakan bahwa Kartini harus membagi ide-idenya... 

Ya, saya ingat juga adegan itu. Tidak hanya sitiran "Iso kelakon ana blandhong dadi ratu" saja... đŸ˜‚

Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah