Seni Bertahan Menjadi Perantau

Setengah bulan Ramadan telah terlampaui. Hari ini kita masuk paruh kedua. Bagaimana puasa di Prancis? Wah, jangan tanya ke saya. Sudah 25 tahun tinggal di Negeri Napoleon ini, saya sudah merasa biasa-biasa saja, tak ada yang spesial.

Ya, tahun ini adalah tahun ke-25 saya merantau. Pertama kali menginjak benua biru di bulan November 2000, sudah 25 Ramadan saya lalui jauh dari tanah air. Suami? Tambah setahun lagi.

Saya tiba hanya beberapa hari sebelum Ramadan. Saat itu, saya terkaget bahwa puasa berdurasi 10 jam saja. Enak sekali. Mana hawa adem musim gugur. Dari tahun ke tahun, Ramadan makin panjang. Puncaknya saat jatuh di musim panas. Lalu perlahan memendek lagi. Saat ini, Ramadan praktis berlangsung di musim dingin.

Dari negara khatulistiwa ke negara empat musim, tentu perlu beberapa penyesuaian dalam pelaksanaan Ramadan. Tak hanya tak terdengarnya azan penanda buka atau tak memungkinkannya taraweh di masjid. Atau tak ada rame-rame penjualan takjil di sore hari. Dan pasti, tak hanya soal Ramadan saja saya harus beradaptasi.

Bahasa

Meski berbekal satu tahun kursus bahasa Prancis di CCF Bandung yang sekarang berubah nama menjadi IFI, sampai di Prancis tak urung saya banyak mengandalkan pardon dan vous pouvez repeter s'il vous plait. Berbincang menggunakan bahasa Prancis dengan orang Indonesia jelas berbeda saat bertemu lidah Prancis aslinya.

Ada hikmah bahwa orang Prancis jarang mau berbahasa Inggris. Ada hikmah bahwa tak banyak orang Indonesia di daerah tinggal saya. Ada hikmah bahwa karena pekerjaannya, Paksu tak bisa selalu mendampingi aktivitas saya. Saya jadi dipaksa ke mana-mana sendiri, memberanikan diri bergaul dan berkomunikasi dengan segala keterbatasan. Dan itu membuat kemampuan bahasa Prancis saya lekas berkembang!

Iklim

Saya beruntung karena Paksu mendapatkan pekerjaan di Prancis tenggara. French Riviera. Cote d'Azur dengan iklimnya yang bersahabat. Musim dinginnya tak terlalu dingin. Asal berpakaian cukup dan jangan lupa mengoleskan krim pelembab di kulit yang terekspose udara luar saja!

Perbandingan kelembaban Solo dan Cannes ... di musim dingin! (Screenshot diambil saat sahur 17 Maret 2025)

Di luar perkiraan saya, justru musim panasnya yang lebih menyiksa dengan rendahnya kelembaban udaranya. Sangat berbeda dengan feeling panas di Indonesia. Apalagi AC adalah komoditi mahal di perumahan biasa. Solusinya? Kalau kepanasan ya manfaatkan sekalian buat belanja saja! Eh? Hehehe.

Makanan

Orang Prancis tidak hanya makan roti baguette. Bahkan ada beras produksi sendiri. Tak bisa menghasilkan nasi pulen kita, sih. Namun beras Thailand banyak. Tak perlu khawatir soal itu. Yang perlu dipikirkan adalah lauknya, yang jelas berbeda dengan masakan Indonesia. Masakan Prancis cenderung hambar. Karena memang tak banyak bumbu.

Pergi merantau dengan kemampuan memasak mi instan dan telur ceplok saja, mulanya saya banyak mengandalkan bumbu instan. Namun tentu saja, tak selamanya bisa tergantung pada bumbu instan begitu.

Perlahan, saya belajar memasak. Memasak sendiri tak hanya soal selera. Membeli makanan jadi, tidaklah murah untuk budget kami. Menunya pun itu-itu saja. Siapa sangka sekarang saya bisa bikin sate padang dan bakso sendiri, kan!? 

Beras Thai kiloan merek supermarket

Kultur

Orang Eropa individualis? Tidak semua begitu. Bahkan di daerah tinggal saya, orang biasa saling menyapa bonjour saat berpapasan, meski tak saling mengenal!

Dibesarkan di keluarga yang cukup terbuka dengan lingkungan yang cukup beragam, saya tak terlalu merasakan culture shock. Perbedaan adalah anugerah. Kalau ada yang tidak cocok, tinggalkan saja. Tanpa perlu mengeluh apalagi menghujat.

Yang menurut saya berat dari perbedaan kultur di Prancis adalah soal agama. Atau lebih tepatnya keantiagamaannya. Jadi, tidak hanya saya yang muslimah berjilbab, sahabat-sahabat saya yang Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha pun merasakan perjuangan mempertahankan keimanan ini.

Memang musti banyak berbekal sabar dan tentunya terus menambah ilmu dalam menjawab mereka yang tidak mau mengerti, yang tak selalu menunjukkannya dalam pertanyaan eksplisit.

Tak Berprofesi

Saya mulai merantau dalam status masih mahasiswa tugas akhir. Meski begitu, saya sudah bekerja. Sudah memiliki pendapatan sendiri dengan mengajar di sebuah lembaga pendidikan keinformatikaan. Seusai lulus dan meraih gelar sarjana, pekerjaan tak bisa diraih begitu saja di rantau.

Bukan karena ijazah. Kan ijazah saya sama dengan ijazah suami! Bukan karena soal kemampuan bahasa. Bukan pula karena hijab saya. Dunia informatika cukup terbuka, kok! Ada aturan dari pemerintah Prancis bahwa saya tak boleh bekerja selama 5 tahun pertama. Suami saya yang pekerja kantoran harus bisa menjamin kehidupan istri dan anaknya, minimal selama itu!

SIM pinky yang nantinya harus diganti dengan SIM ber-chip pada tahun 2033

Pada dasarnya aktif, tentu status pengangguran harus saya siasati. Dari sekolah formal jarak jauh, mengikuti MOOC, kursus menyetir, ... juga mengikuti komunitas online saya jalani. Otak harus tetap berjalan, tak boleh mandeg! 

Membaca adalah jalan favorit saya untuk mengisi waktu sekaligus mengembangkan kemampuan berbahasa. Namun harus diakui bahwa memiliki anak adalah aktivitas yang paling menyibukkan dan membuat saya bisa mensyukuri kondisi tidak berprofesi.

Menjadi Istri dan Ibu

Kalau ada yang tanya, enakan mana tinggal di Indonesia atau di Prancis, saya jawab tidak tahu. Saya praktis baru hidup berumah tangga di Prancis. Jadi ya menurut saya tidak bisa dibandingkan.

Menjadi istri, dan terutama menjadi ibu, perlu adaptasi tersendiri. Bertoleransi, menerima kekurangan, menyesuaikan dengan preferensi pasangan, tak semudah menjentikkan jari. Adanya anak, prioritas hidup berubah. Bener, nggak? 

Menjadi orang tua membuat saya belajar dan belajar lagi. Karena jelas, saya tak bisa membesarkan anak-anak saya menggunakan cara yang sama dengan orang tua saya membesarkan saya dulu—yang ini juga mengundang konflik tersendiri. Di balik berbagai perbedaan metode pendidikan anak itu, saya jadi makin menghargai orang tua saya. 

Melihat anak-anak yang sehat, masalah lain? lewaaat

Jarak Menambah Cinta

Ada satu yang berat dari merantau, yang baru saya rasakah belakangan: jarak dari orang tua. Saat mulai merantau, orang tua masih seumur kami saat ini. Masih sehat dan aktif. Sekarang, saat saya sudah seumur mereka dulu, tentu mereka sudah tak sama lagi. Dan mengingat itu, sungguh mengiris hati.

Apalagi di masa Ramadan begini, di mana masih ada saja yang mempertanyakan "mengapa?" dan tak cukup berhenti pada "mudik nggak?". Masih bersyukur sudah tak banyak lagi yang menambah dengan mengeluarkan dalil soal birul walidain. Aduh! Alhamdulillah ibu saya sendiri mengerti dan memaklumi kondisi kami. Dan itu sangat melegakan hati. 

Hubungan saya dengan ibu saya sendiri sebenarnya tak bisa dibilang dekat. Relasi kami adalah mode klasik di mana orang tua membesarkan anak dan anak menghormati orang tua. Semua itu perlahan berubah saat kami berjauhan. Kami jadi bisa lebih banyak ngobrol terbuka heart to heart. Meski kalau bertemu ya masih suka berantem sih! Hahaha. 

Makin kuatnya ikatan ini saya rasakan juga kepada tanah air. Makin ke sini, saya makin merasakan cinta saya pada Indonesia. Tak hanya karena ternyata di negeri yang nota bene maju ini ternyata banyak juga kekurangannya, tapi juga bagaimana ada tak rela saat negara saya dijelekkan, dan bagaimana saya berusaha menjaga perilaku karena menyadari, mau tidak mau, sudah menjadi cerminan bangsa.

Syukur

Kalau dipikir-pikir, ada banyak yang perlu dipersiapan sebelum merantau. Ya, #kaburajadulu tak sesederhana itu. 

Seperti yang saya alami sendiri: meski ada pendidikan cukup, bisa jadi aturan negara tak memungkinkan; meski sudah cukup penghasilan, mendapatkan tempat penitipan anak ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. 

Siapkah kehilangan warung Tegal dan nasi Padang? Mampukah mempertahankan keimanan di tengah gempuran berbagai macam paham? Relakah tak bisa bertemu keluarga dalam hitungan tahunan? 

Pengalaman awal merantau sempat tertuang dalam antologi terbitan 2015 yang tersedia di iPusnas

Bekal fisik dan mental, jasmani dan rohani, material dan spiritual, ... semua harus kuat dalam menghadapi berbagai faktor perubahan. Kalau semua yang kita siapkan ternyata tetap tidak cukup, keluarkan satu bekal wajib: syukur dalam berbagai keadaan. Yakin bahwa rencana Allah adalah yang terbaik. Dan itu yang membuat saya masih bertahan menjadi perantau sampai saat ini.

Sampai kapan?

Wallahu 'alam.

Hehehe...


---

Tulisan ini diikutkan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret 2025 yang bertema Seni Bertahan Menghadapi Perubahan dengan Mamah Host Hani.

 

 

Comments

  1. dua kata: "super" dan "salut"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kutunggu catatan pengalaman perantauanmu juga, Supermom! 😘

      Delete
  2. Aku kepo sebenarnya cerita Alfi bisa nyampe ke Prancis. Ternyata udah ada di buku ya. Langsung nyari ah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada di iPusnas teh. Ada cerita kenapa ke Prancis di bagian ke-4 tulisanku. Brsan ngecek krn dah lupa juga 😅

      Delete
  3. I feel you Teh! Terimakasih sudah menuliskan perasaan para Mamah Rantau.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo nulis juga. Pasti ada sudut pandang lain deh 🤗

      Delete
  4. Kenapa harus 5 tahun ngga kerja ya untuk istri perantau di Perancis? Wah teh Alfi udah ke Perancis waktu aku masih kuliah, hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitu aturannya memang. Yg dapet visa kerja harus bisa menunjukkan kl mampu menghidupi keluarganya. Melindungi pekerja lokal juga kali ya? Pdhl waktu itu gaji UMR lho. Alhamdulillah cukup2 aja 😇

      Delete
  5. Boleh gak sih milih tulisan relatablenya Teh Alfi semua? Terlalu relate ini mah 🥺🥺

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tos dulu sesama Mamah Rantau (dapet istilah dr teh Lenny 😁) 🖐🤗

      Delete
  6. Tulisan seribuan kata, aslinya kalau dibredel bakal banyak banget cerita ya teh.
    Saya selalu salut dan kagum dengan perantau di LN, terutama yang sudah berkeluarga. Struggle mengurus anak di negeri orang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan aku salut sama ketabahan ibu2 di Indonesia yang mengasuh anak dalam tekanan sosial yg tinggi 😅✌️

      Delete
  7. Mba Alfi, aku kagum dengan cara Mba Alfi melihat semua kesulitan sebagai hikmah. Begitu membacanya, aku auto menemukan soundtrack untuk tulisan Mba Alfi niy ehehe, lagu milik Bernadya yg "Untungnya Hidup Harus Terus Berjalan".

    Sebagai sesama perantau, ku menemukan banyak point yamg relatable. Mba, aku udah pesimis duluan mengetahui perihal puasa di musim panas. Kemungkinan, bisa 19 jam tuh Mba kalo di sini 😂. Kalo di Perancis, berapa lama durasi puasa di summer?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beda tipis. Di sini maksimal 18 jam-an. Tapi kan siklusnya masih nanti 30 taunan lagi. Skrg menikmati puasa pendek2 dulu sajaaa (sambil dengerin Bernadya) 😘

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Menengok Ketentuan Pemberian Nama Anak di Prancis

Perjalanan Bela Bangsa

Foto Kelas