Trilogi Soekram - Sapardi Djoko Damono

Setelah mencoba membaca beberapa buku di iPusnas dan tak berhasil menyelesaikannya dengan berbagai alasan, saya pun kembali mencari buku karya Sapardi Djoko Damono. Dan pilihan jatuh pada Trilogi Soekram. Buku yang juga sempat disinggung dalam Yang Fana Adalah Waktu, buku ke tiga dari trilogi Hujan Bulan Juni...

Trilogi dalam Satu Buku

Memperhatikan perbedaan kapitalisasi saat saya menyebutkan Trilogi Soekram dan trilogi Hujan Bulan Juni?

Itu kesengajaan, bukan kealpaan!


Buku terbitan tahun 2015 ini memang mengandung kata Trilogi dalam judulnya. Dan memang isinya terbagi atas tiga bagian. Meski trilogi, bukunya hanya satu! Saya sendiri sempat terkecoh, mencari buku ke dua dan ke tiga. Yang tentu saja tidak saya temukan!...

Namun saat mencari-cari informasi, saya mendapatkan dari Goodreads bahwa ternyata Pengarang Telah Mati, Pengarang Belum Mati, dan Pengarang Tak Pernah Mati yang menyusun Trilogi Soekram ini memang pernah diterbitkan secara terpisah sebelumnya...

Sayangnya, selain keterangan yang justru ada di bagian Tentang Penulis di akhir buku yang menyatakan bahwa buku pertama terbit tahun 2001 dan buku ke dua serta ke tiga keduanya terbit di tahun 2011, saya tak menemukan informasi lebih lanjut tentang masing-masing buku tersebut...

Buku yang Unik

Trilogi Soekram menceritakan tentang Soekram, seorang tokoh novel yang beremansipasi. Dia tak mau dilupakan "hanya" karena pengarangnya meninggal dunia. Soekram berusaha mencari penulis lain yang bisa membuatnya tetap eksis...

Di bagian pertama yang terdiri atas 72 halaman, pembaca diajak berkenalan dengan Soekram, Minuk, Ida, dan Rosa. Latar cerita terletak pada masa runtuhnya Orde Baru di tahun 1998, di Jakarta, lengkap dengan perjuangan mahasiswa dan juga huru-haranya...

Bagian ke dua, terdiri atas 76 halaman, menceritakan bagaimana penulis yang di bagian pertama diberitakan meninggal, ternyata masih ada. Si penulis protes dengan jalan cerita yang dipilih Soekram, dan mengusulkan alur lain untuknya...

Tak ada, dan bahkan tak disinggung lagi perempuan-perempuan yang menjadi tokoh utama di bagian pertama. Tapi ada Maria. Dan latar cerita berpindah ke saat Soekram masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta, di tahun 60an...

Bagian ke tiga adalah yang terpanjang. Terdiri atas 116 halaman. Soekram kembali memberontak. Dia kembali menjadi pengarang cerita. Kali ini berlatar di Padang bersama Datuk Meringgih --bukan Maringgih! itu beda!-- dan Sitti Nurbaya. Lalu ada tokoh Semar dan faksi Kartini. Dengan beberapa kali menyinggung Robohnya Surau Kami-nya AA Navis. Latar cerita berpindah lagi ke zaman perjuangan kemerdekaan...

Dari bagian pertama ke ke dua lalu ke tiga, buku semakin absurd saja. Bagian pertama masih cukup mudah untuk dinikmati. Ada ceritanya...

Memasuki bagian ke dua, sempat bingung. Dan bahkan agak bosan. Sampai-sampai saya kehabisan waktu meminjam iPusnas yang hanya 5 hari. Beruntung masih banyak stok tersedia dan saya bisa langsung meminjamnya lagi...

Bagian ke tiga ternyata semakin abstrak. Banyak tokoh dari buku lain, bahkan dari sejarah yang masuk. Yah, namanya juga karangan Soekram? Tapi ternyata Soekram sendiri kewalahan saat bertemu dengan Marah (Rusli?) yang protes karena kisah Sitti Nurbaya diakuisisi tanpa izinnya... 

Tetap Layak Dinikmati

Entah Pak SDD mau membawa pembaca ke mana. Tapi saya menyukai petualangan ini. Walau mungkin akhir perjalanan saya berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan Pak SDD...

Saya merekomendasikan buku ini pada siapa saja yang ingin menikmati keindahan bahasa, tanpa mengharapkan isi cerita. Karena bahkan Soekram pun tidak paham akan kisah yang ditulisnya sendiri... 


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah